RAINY NIGHT DRIVE

136 22 12
                                    

Langit malam kota Jakarta mulai gelap, udara tidak sepanas tadi siang menjelang sore. Namun, ramainya jalan akan selalu sama, penuh kendaraan hilir mudik menapaki aspal yang di beberapa sisi rusak.

Suara kendaraan bermotor bergaung nyaring, salah satunya dari motor hitam metalik yang dikendarai Jentara dengan Hanin mengisi bagian belakang, kedua telapak tangan masuk ke dalam saku jaket jeans hitam Jentara.

"Jadinya mau ke mana kita? Perlu tanya petanya si Dora, gak?" Tanya Jentara, menoleh sedikit ke arah sang kekasih.

Helm full face putih dibuka kacanya, "Sejujurnya mau bilang terserah, habis bingung, macet banget." Mata tajam Hanin menatap mata tajam Jentara, lalu mengedar pada hiruk pikuknya kendaraan lain yang adu suara klakson, kemudian lanjut berkata, "Jalan aja dulu. Sambil liat-liat tempat makan yang sekiranya enak, udah jam tujuh juga. Mulai laper."

"Boleh, kita puterin Gading tanpa nengok ke mall. Yaudah, tutup lagi kaca kamu, banyak debu di sini. Takut kelilipan, bahaya."

Telapak kiri Jentara meremas pelan tangan Hanin yang masih tersimpan rapi di kantung jaketnya. Selanjutnya balik fokus pada jalanan yang sempat terhenti karena lampu merah.

Lembutnya alunan lagu Dream No. 24 oleh Rio mengalun di telinga kiri Jentara dan telinga kanan Hanin, sepasang airpods yang dipakai bersamaan agar saling mendengar satu lagu, mengangguk seirama, bersenandung sama.

Sesekali helm terantuk, bukan karena Hanin yang mengantuk, tapi terkadang hal tersebut merupakan cara lain berkomunikasi, minta atensi, atau hanya sekedar jail. Tahu jika berkomunikasi verbal tidak terdengar jelas, terbiasa menikmati jalan tanpa sering mengobrol terganti elusan dan benturan pelan helm tadi. Walau memang baik Jentara atau Hanin harus mengeraskan volume suara jika memang diharuskan mengobrol di tengah perjalanan.

Ban depan membelok kanan, masuk ke jalan yang lebih sempit dari sebelumnya, setidaknya tidak beriringan dengan truk berukuran besar membawa kontainer.

"Liat-liat dulu aja ya tempat makan yang kita lewatin!"

Suara Jentara lebih keras, bersahutan dengan suara musik juga kendaraan lain. Hanin mendekatkan kepalanya di pundak kanan Jentara, mengistirahatkan sejenak kepala tertutup helm tersebut. "Oke, deh. Tapi, kamu lagi pengen apa? Biar aku samain sama mauku," sahut Hanin sedikit berteriak agar ucapannya terdengar.

"Yang kuah pedes kayaknya enak, pas soalnya kayak mau ujan. Kamu gimana?"

Hanin berpikir sejenak, memperhitungkan saran dan kemauan Jentara untuk makan malam hari ini. Benar, langit lebih gelap dari biasanya, udara juga makin dingin. Tak terasa rintikan hujan membasahi permukaan bening kaca helm.

"Ujan! Boleh-boleh. Makan itu aja, semacem soto atau sop."

Kecepatan motor ditambah, pun pegangan Hanin pada jaket kekasihnya makin erat. Mata sibuk menjelajah tiap resto atau tempat makan –yang kebanyakan cepat saji– di pinggir jalan.

Mungkin terlalu lama memilih atau terlalu cepat hujan turun deras, jaket jeans dan celana jeans hitam Jentara juga hoodie hitam dan denim Hanin, basah terkena guyuran hujan.

Sehingga, Jentara memberhentikan laju motornya di kumpulan pengendara motor lainnya. Ikut berteduh di bawah jalan layang.

"Baju kamu basah banget, gak?" Pertanyaan pertama yang dilontarkan Jentara pada sang kekasih seturunnya mereka dari motor sembari menyeka tetesan air di helm putih Hanin. Turun merasakan hoodie kekasihnya yang sedikit lembab dan basah terlebih di bagian punggung.

Kaca helm dibuka, "Engga, sih, kayaknya. Tapi, bagian belakangku lumayan dingin, basah, ya?"

"Iya, hoodie kamu basah. Pake kaos di dalemnya, 'kan?"

Jentara dan HaninWhere stories live. Discover now