35. Ajarkan aku melupakanmu

10 2 0
                                    

~Dicintai adalah anugerah. Mencintai adalah keikhlasan. Level tertinggi cinta adalah ikhlas melepaskan demi kebahagiaannya. Maka, bimbinglah aku untuk melupakannya~

***
Jantung Arman dan Irma berdetak normal. Mereka menggerakkan jari jemarinya. Pihak polisi yang sehari semalam menjaga mereka, mendengar detak jantung kembali normal, segera melapor ke dokter. Mereka masuk ke kamar membunyikan alarm. Sejurus kemudian, dokter datang dan segera memeriksanya lebih lanjut. Pihak polisi menunggunya di depan.

Usai salat tahajud, Imaz merapikan mukenahnya. Keluar dari mushola rumah sakit sejahtera, ia sengaja menengok keadaan Robet dari balik jendela. Ia nampak tertidur pulas. Melihatnya dari jauh seperti ini, ia sudah lega apalagi keadaannya yang baik-baik saja. Cukup menengok, ia berjalan lagi melintasi dinginnya malam.

Di sepertiga malam seperti ini, ia kembali didatangi kenangan. Perjumpaan dengannya di sebuah musholla yang tak jauh dari pesantren. Disana, Allah mempertemukan mereka secara tak terduga. Mendekatkan mereka melewati perjodohan Romo kiyai. Beliau kemudian meresmikan hubungan mereka pada ikatan suci pernikahan. Tapi justru Allah berkehendak lain. Mereka berpisah di waktu yang sengaja. Ya. Hari senin janji suci yang mereka pegang, harus terlepas karena keadaan. Meskipun Allah memberi ruang mereka saling memiliki, perpisahan adalah jalan terakhir untuk saling memperbaiki diri.

Angin malam itu sangat menelisik tubuh. Ditambah lagi melangkahkan kaki menembusnya. Langkahnya mendadak terhenti ketika ia melihat pihak kepolisian berdiri tegap di depan ruang ICU. Ia baru menepuk dahi teringat jika Arman dan Irma dilarikan di rumah sakit. Menyandang sebagai tahanan.

Di dalam kamar, Arman rupanya bisa membuka kedua matanya. Samar-samar ia melihat setiap sudut tempat.

"Tuan Arman bisa mendengar suara saya?" Dokter mencoba mengajaknya berbicara. Ia masih linglung. Seperti pertama kalinya ia berada di dunia.

"Saya dimana pak?" Arman sudah bisa mendengarkan suaranya.

"Kau ada di rumah sakit. Kau masih ingat siapa namamu?"

"Saya Arman."

"Syukurlah. Kau sudah kembali normal."

Detak jantung mereka memang sudah normal. Tapi, justru Irma yang belum sadarkan diri. Dokter itu keluar. Ia kemudian memberitau pihak polisi terkait Arman yang sudah sadar.

"Baiklah, kami boleh masuk?"

"Silahkan." Dokter itu mengizinkan. Selepas dokter itu kembali ke ruangan pribadinya, pihak kepolisian masuk ke ruangan. Mata Arman terbelalak kala melihat polisi datang menghampirinya. Kejadian penusukan mata di danau terekam kembali.

"Bagaimana kabar Anda Arman?" Kapten Richard bertanya dengan menunjukkan senyum liciknya.

"Baik." Arman menjawabnya dengan dingin.

"Allah mendengar doa kami. Kau akhirnya bisa sadar. Tapi, entah bisa sadar diri apa tidak." Kapten Richard melecehkan. Mereka sudah terbiasa saling mencemooh. Karena ia teman musuh terbesarnya.

"Bagaimana kabar Robet?" Pertanyaan Arman itu membuat kapten Richard terkejut dibuat-buat.

"Dia kehilangan kedua matanya karena dirimu. Dan kau harus dipenjara selama-lamanya."

"Aku memiliki dua syarat," ujar Arman.

"Syarat?"

"Ya. Kau mau aku dipenjara selama-lamanya atau di alam sana selama-lamanya. Jika kau membiarkanku dipenjara, aku tidak bisa membayar semua yang terjadi pada Robet. Namun, jika kalian membiarkanku di alam sana, semua kesalahanku bisa terbayarkan. Aku beri waktu malam ini juga. Dia sedang menungguku."

Finding My LoveWhere stories live. Discover now