chapter 8

15 5 6
                                    

Pikiran Artha kini dipenuhi oleh pertanyaan Freya sejak pagi tadi. Kata-kata 'menyukai Archana' terus terngiang-ngiang di benaknya. Bahkan ketika Satin dan dayang-dayang lain memanggilnya beberapa kali, Artha tetap bergeming sampai-sampai Satin harus menepuk bahunya untuk membuat Artha tersentak dan sadar.

Mata sipit Satin makin menyipit kala ia mengerling pada Artha. "Apa tehnya tidak enak, Putri?" 

Artha nyaris terlonjak dari kursi rodanya. Beruntung cangkir teh yang digenggamnya sempat ia tangkap meski sebagian isinya tumpah dan mengenai pakaian yang dikenakan Artha. Dayang Satin memijat pelipis melihat kecerobohan Artha. Sudah dua kali gadis bermanik biru langit tersebut berganti pakaian.

"Ah, tehnya enak. Maafkan aku." Artha menunduk, lantas mengembuskan napas kasar. Pakaiannya kotor lagi. Pagi tadi setelah pulang dari taman paviliun istana, pakaian Artha kotor karena terjatuh saat nekat hendak berjalan di luar pengawasan Freya yang saat itu tengah mengamati 'Pohon Harapan' yang berguguran. Kedua, rok biru dengan hiasan permata safir yang dikenakan Artha kejatuhan krim kue, padahal kue itu diletakkan di meja. Sialnya, Dayang Jane mendadak datang dan mengagetkan Artha yang sedang melamun hingga sepiring kue yang baru hendak gadis itu ambil tergelincir begitu saja dari tangannya.

"Sebaiknya Anda segera berganti pakaian. Kali ini saya yang akan mengurus Anda," ujar Satin, lantas menggiring kursi roda Artha menuju kamarnya. Bila dua kali tadi Artha sendiri yang mengganti pakaian, kali ini Satin-lah yang memilihkan pakaian, membuka baju Artha, dan memakaikannya ke tubuh langsing gadis itu.

"Satin, aku ingin bertanya." Artha mendongak. Iris biru langitnya memandang plafon berhias chandelier perak yang tergantung di tengah-tengah ruangan.

"Tanyakan saja." Satin menjawab sembari memakaikan Artha kardigan krem.

"Apa penyihir tingkat tinggi punya hak khusus untuk meminta sesuatu kepada Yang Mulia?"

Satin selesai memakaikan Artha pakaian, lantas berlanjut mendandani wajah manis Artha, dimulai mengoles gincu merah muda di bibir mungilnya.

"Saya tidak tahu, Putri. Tetapi sepertinya begitu mengingat Tuan Archana banyak meminta kepada Yang Mulia. Saya heran mengapa Yang Mulia mau-mau saja diperintah anak itu." Jawaban Satin terdengar seperti omelan. Namun, bukan itu atensinya, melainkan Archana yang ternyata banyak meminta kepada sang Raja.

"Archana meminta apa?" 

Usai mengoleskan pewarna bibir, Satin mengambil bedak, lantas menepuk-nepuk kedua pipi Artha pelan dengan spons bedak. Tak lupa menambahkan pewarna merah muda hingga membuat pipinya seperti bersemu.

"Dia meminta ingin menjadi penyihir dan pengawal Putri. Ada-ada saja anak itu. Dia ditunjuk menjadi penyihir tingkat tinggi untuk rakyat, bukannya mengurus satu orang seperti bodyguard-nya." Satin berkata dengan nada sinis bukan main. Artha tahu wanita bertubuh agak tambun tersebut sedang menyindirnya.

"Dia memang punya hak khusus di kerajaan sebagai orang yang berjasa, tetapi menjadi pengawal dan kesatria Anda? Oh, Tuhan! Dia masih terlalu muda! Catat, Putri. Archana Lilichen masih berusia enam belas tahun dan dia baru saja dilantik sebagai kesatria di tingkatan terendah. Mana bisa seorang kesatria tingkat terendah meminta kepada Yang Mulia begitu saja untuk menjadi pengawal pribadi anggota kerajaan?" Sementara Satin terus mengoceh, Artha hanya diam membisu.

Tidak, dia tidak benar-benar membisu. Benaknya berkecamuk. Archana memang 'agak' kurang ajar. Namun, Artha penasaran mengapa lelaki itu sampai melakukan hal nekat demi dirinya?

Artha jadi teringat kembali akan kata-kata Freya di taman paviliun istana pagi tadi. Apakah Archana menyukainya? Alasan itu cukup logis dengan segala upaya yang lelaki itu lakukan, tetapi ... apakah Artha juga menyukai Archana? Entahlah. Artha juga tak mengerti. Maka dari itu tadi ia tak menjawab pertanyaan Freya dan memilih abai, meski batinnya terus dihantui pertanyaan sulit itu. Singkatnya, Artha bisa jadi tidak menyukai Archana sebagai lawan jenis, tetapi sebagai penyelamatnya. Bisa jadi pula, Artha memang menyukainya, sebagai perasaan seorang perempuan kepada laki-laki. Kalau tidak, bagaimana bisa jantungnya berdetak tak keruan saat Artha berada di dekat lelaki itu?

"Sudah selesai, Putri."

Satin mundur selangkah, lantas berbalik. Dia ada di belakang Artha, menggenggam pegangan kursi roda dan menatap cermin di hadapan. Artha mengikuti arah pandangnya. Di dalam cermin oval berbingkai emas tersebut, Artha melihat sesosok gadis dengan rambut seperti kelopak bunga sakura yang disanggul; iris biru bagaikan langit cerah; alis tipis yang memanjang; pipi tirus berlesung pipit; serta bibir merah muda keriting nan mungil. Artha jarang melihat cermin karena ia lebih sering didandani oleh para dayang dan tidak diberi kesempatan untuk melihat wujudnya. Kini, Satin memberikannya gambaran tentang dirinya. Meski fisik Artha tidak sempurna, tetapi tidak sedikit kesatria pria serta dayang-dayang yang memuji kesempurnaan parasnya, padahal mereka pun juga mencercanya. Sebuah paradoks yang membingungkan bagi Artha.

"Terima kasih, Satin."

Satin mengabaikan ucapan terima kasih Artha dan hendak langsung mendorong kursi rodanya keluar kamar.

"Saya akan mengantarkan Anda ke ruang tamu."

Artha menggeleng seraya merentangkan tangan kanannya. "Tidak, Satin. Biarkan aku sendiri untuk sementara."

Satin tidak segera menyanggupi. Wanita itu diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan melepas genggamannya pada pegangan kursi roda.

"Baiklah."

"Kau tidak perlu menemaniku. Lanjutkan saya tugasmu."

Satin mengangguk sekali lagi, lantas meninggalkan ruangan. Tak lupa menutup pintu.

Setelah dirasa Satin sudah menghilang dari pandangan. Artha membawa kursi rodanya mendekati meja di sisi kiri ranjang berukuran king size. Artha membuka laci, lantas mengeluarkan sebuah buku bersampul magenta dan meletakkannya di meja. Ia mengambil pena, kemudian menuliskan sesuatu di buku hariannya.

13 Mei tahun 1572, Eltras.

Apakah aku menyukai Archana?

Di taman paviliun istana tadi, Freya bertanya padaku apakah aku menyukai Archana Lilichen, sang Penyihir Musim Semi sekaligus orang yang pertama kali kutemui di luar kerajaan enam tahun lalu. Aku tidak tahu, tetapi jantungku selalu berdegup tak tentu saat bersamanya. Pun saat melihat netra kelabu itu, senyum manisnya itu, serta kebaikannya itu.

Aku sempat mencuri dengar dari dayang-dayang kala mereka tengah bergosip di sela-sela pekerjaan mereka. Katanya, jika jantung kita berdegup tak keruan saat berada di dekat lawan jenis, itu artinya kita sedang jatuh cinta.

Benarkah begitu? Apakah aku ... menyukai—ah, tidak. Tepatnya, apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama (oh, tidak, maaf. Maksudku kedua) pada Archana?

Dan apakah Archana juga menyukaiku?

Artha berhenti menulis begitu merasakan sesuatu mengganjal di kerongkongannya. Ia terbatuk. Mulanya tidak ada yang aneh, sampai ia batuk kelima kalinya, dahaknya mengeluarkan cairan merah yang amis. Netra Artha seketika membola. Ia terbatuk lagi. Kali ini sesuatu yang mengganjal itu keluar. Dengan tangan gemetar, Artha mencoba menyentuh sesuatu yang tampak seperti helai kelopak bunga berwarna merah muda. Dan benar saja, itu ... benar-benar sebuah kelopak bunga yang berselimut merah darah.

Tak sampai di sana, Artha terbatuk lebih keras. Kerongkongannya seakan ditekan oleh sesuatu. Lagi-lagi beberapa helai kelopak bunga keluar bersamaan dahak yang cairannya berwarna merah pekat, mengotori baju terusan kuning bercorak bunga matahari yang dikenakan Artha dan meja kayu bercat putih di hadapannya.

Pandangan Artha mulanya memburam, kemudian menggelap. Tubuhnya limbung. Andai tak berada di kursi roda, ia mungkin sudah ambruk ke lantai.

Kepala Artha terasa seperti dihantam sebuah batu besar. Hal terakhir yang ia pikirkan sebelum tak sadarkan diri adalah; pakaiannya yang kotor untuk keempat kalinya.

🌸🌸🌸


(Not) An Eternal Spring - ENDWhere stories live. Discover now