Part 10 : Magoa

28 8 4
                                    

Sekarang, aku paham.

Gatwick Express adalah sepasang kereta api bawah tanah. Kereta api berwarna kuning menuju ke masa depan, dan kereta api berwarna coklat menuju masa lalu. Ada beberapa penumpang yang tak kuketahui kapan mereka masuk. Kereta ini sedikit lebar dari kereta api pada umumnya. Setiap tempat duduknya berada dalam sebuah bilik kecil yang sekaligus berfungsi sebagai sekat untuk memisahkan bilik satu dengan yang lain dan terbuat dari kayu yang dipelitur mengkilap berwana kecoklatan. Masing-masing bilik disediakan dua bangku panjang empuk yang saling berhadapan dan sebuah meja yang dipaku tepat di bawah jendelanya yang bersih. Kursi itu bisa dibuka. Muat untuk menyimpan masing-masing satu koper. Beberapa lampu dipasang dalam tabung kaca menjadi penerangan sehingga kereta nampak terang.

Diriku kini telah mendekam pada salah satu bilik di gerbong nomor empat. Ada tujuh gerbong di tiap kereta --jika aku tidak salah hitung. Sembari mengecek kembali tiket yang kupegang, aku memastikan agar tidak salah masuk bilik. Di tiket itu tertulis;

GWE-SLE/MON-10-JAN-2022/121245-04-B1

KIMMY HASTEE
PAINSWICK VILLAGE - COTSWOLD HILL - LONDON
1982

Beberapa waktu setelahnya, masinis mulai kembali menjalankan kereta ini. Kedua kereta bergerak bersama. Satu menuju ke arah selatan, sedangkan yang kunaiki menuju ke arah utara. Bel kereta yang berbunyi seakan menjadi tanda perpisahan. Dari balik jendela bisa kusaksikan kedua masinis saling melambai, tersenyum, mengangguk, mengacungkan jempol, dan berpisah. Hatiku terasa hangat, sehangat musim panas di London saat ini yang belum tentu akan kurasakan pula di tahun 1982. Aku, dan semuanya; para penumpang, dan Gatwick Express tengah mengantongi sebuah harapan, doa, ambisi, keraguan, optimisme, beban, dan pesan yang merangkul perjalanan panjang ini.

Bayangan diriku yang lain beradu di depan kaca bening kereta. Melewati sebuah terowongan panjang tak bercahaya. Guncangan dari rodanya yang pelan membuat tubuh kecilku ikut bergoyang ke kiri dan ke kanan. Udara di malam hari yang terasa semakin dingin membuat gigiku bergemelutuk. Aku sempat menyesal karena tidak memakai mantel seperti yang Hugo kenakan.

Ah, pria itu.

Sedang apa ia sekarang.

"Permisi, Nona."

Seorang kondektur menyapaku. Membuatku menoleh kepadanya. Seorang pria berumur sekitar empat puluhan tahun beratribut seragam petugas kereta dengan dasi hitam, jas hitam, logo Gatwick Ekspres di pet yang bertengger di kepalanya, serta sebuah lencana yang tersemat di dada kiri.

"Tiket?"

Ia meminta kertas panjang yang kupegang lantas kuserahkan tiket itu padanya. Ia menjepretnya dengan sebuah alat mirip stapler di meja kerjaku dan membuat sebuah lubang di tengahnya. Kemudian, mengembalikannya padaku.

"Pak."

"Ya."

"Bisakah kau jelaskan arti tulisan ini?" pintaku malu-malu.

"Itu adalah sebuah kode, Nona. Bagian depannya menunjukkan tanggal keberangkatanmu, tempat dudukmu, namamu, dan alamat serta tahun yang kau tuju," paparnya.

Aku mengangguk mencoba memahami.

"Baik. Terima kasih banyak."

Kondektur itu lantas beralih ke bilik lain. Meninggalkanku yang masih mencoba mencerna angka demi angka.

Jika aku tidak salah terka bisa jadi tiket itu berarti;

Gatwick Express - Stasiun London Euston/Monday-10-January-2022/Time: jam 12 lewat 12 menit 45 detik - gerbong keempat - bilik pertama.

Mission (Kim)PossibleWhere stories live. Discover now