37. Berpisah itu mudah

9 3 0
                                    

~Detik perpisahan di ujung pelupuk mata. Hati bergetar mendengar ketukan palu tanda bahwa kita sudah tidak ada lagi hubungan melainkan hanya seorang teman~

                                  ***
"Keputusanku bulat bu. Aku lebih memilih cerai nikah siri." Robet menjawab tak ada toleransi lagi.

"Baiklah, jika itu menurutmu keputusan yang baik." Ibunya hanya bisa pasrah.

Di sudut ruang ICU, Arman menatap langit-langit rumah sakit. Terpekur sendirian melawan musuh hatinya. Hati bisa damai ketika menatap lekat wajah Irma, kekasih hatinya. Ia masih tidak sadarkan diri. Ia tau, cara mencintainya salah. Tapi, perlu ia ketahui, ia rela menolak seribu wanita demi satu wanita dengan seribu cara.

Knop pintu berbunyi, terdengar langkah kaki seseorang tengah membukakan pintu. Perlahan sebuah piring muncul di ambang setengah pintu terbuka. Arman dibuat penasaran jadinya. Ketika seseorang itu muncul di hadapannya, ia terperanjat kala melihat ternyata dia adalah ayahnya.

Seorang ayah yang rentan tua menapaki jalan dengan langkah lemah. Sosok yang pernah ia durhakai. Pernah ia lenyapkan dalam doanya namun selalu ia langitkan doanya dan menunggu kehadirannya. Ia perlahan mendekat membawakan makanan untuknya.

"Bagaimana renangnya?" Pertanyaan ayahnya sontak membuatnya kaget. Dengan santai, ia menarik kursi di depannya dan duduk dengan tenang.

"Apa ayah masih menganggapku anak?" Arman mengalihkan topik.

"Arman, harapan ayah kau bisa jadi mantan Irma. Lalu, sekarang kau berharap aku menjadi mantan ayahmu?"

Arman merasa skakmat kali ini. Ayahnya tak memedulikan responnya bagaimana. Justru ia tetap melanjutkan menyuapinya. Nasi bubur sudah ada di hadapan matanya, ia tak kunjung melebarkan mulutnya. Ia menatap dalam wajah ayahnya.

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Makan dulu sana. Fokus saja pada kesembuhanmu."

"Yah, jika aku sudah tidak ada lagi di dunia ini, apa ayah menyesal mempunyai anak seperti aku?"

"Lebih menyesal jika aku ayahmu, tapi salah memperlakukanmu. Sudahlah, jangan memikirkan aneh-aneh. Fokus saja pada kesembuhanmu."

Arman tersenyum tipis. Ia melebarkan mulutnya. Menerima suapan makan dari ayahnya.

                                 ***
Detik sidang perceraian sudah dipelupuk mata. Robet sudah berpakaian rapi mengenakan jas hitam, kemeja putih dengan gaya rambut yang eksotis. Menambah yakin ibunya kalau suatu hari Ning Hilda akan sangat bersyukur memiliki Robet seutuhnya.

Dokter juga tak lupa mengganti perban di matanya. Ibunya menutup mata tak tega ketika perban sudah dibuka, melihat kenyataan mata indah yang penuh kharisma menjadi mata retak yang penuh kegelapan. Tak ada pancaran cahaya ketampanan. Kornea menghilang terbawa arus aliran darah.

Untuk menambah kepercayaan diri Robet, dokter berinovasi memakaikan kaca mata hitam yang dimodifikasi seperti kaca mata renang agar tidak bisa jatuh karena tebalnya perban.

"Setelah Robet sidang, dia diperbolehkan pulang. Asalkan, dia harus rajin-rajin mengganti perban," kata dokter menasehati.

"Kira-kira kapan dok, aku bisa melaksanakan donor darah juga donor mata di singapura?"

"Nanti saya kabari lagi."

"Baik, dok."

Para santri yang sudah memberi warna humoris untuk Ning Fiyyah, sudah berangkat ke hotel yang mereka pesan. Sementara Imaz, Ningrum, Ning Dija, Rasya dan Saga masih setia menemaninya.

Finding My LoveWhere stories live. Discover now