1

216 18 3
                                    

Suasana malam yang hening hanya memperdengarkan suara detak jarum jam dari sebuah jam dinding klasik yang dipasang di sebuah ruang tamu yang luasnya tiga kali empat meter. Gadis itu terbaring dengan tatapan mata yang nyalang. Tubuhnya benar-benar lelah, namun kantuk tiada juga datang. Tapi ia juga enggan untuk meninggalkan kamar meskipun ia tahu, disana, diruang tengah rumahnya ada ibu dan ayahnya masih terbangun.

Sejak setahun terakhir ini, ruang tengah keluarganya menjadi kamar tidur ayahnya yang sudah tidak bisa berkutik dan tidak bisa banyak bergerak akibat kanker paru yang dideritanya. Kasur busa ukuran single yang biasa digunakan adiknya kini dijadikan tempat tidur sang ayah. Sementara ibunya, biasa berbaring di atas karpet yang ia gelar saat malam dan ia lipat saat siang.

Mereka juga sengaja memindahkan sang ayah ke ruang tengah rumahnya untuk memudahkan akses bagi mantri yang mereka panggil ke rumah untuk mengganti infusan yang sudah lama ini menjadi kebutuhan sang ayah. Juga memudahkan mereka saat ada tamu yang ingin mengunjungi sang ayah. Dan lebih dari itu. mereka memindahkan ayahnya tidur di ruang tengah supaya mereka memiliki ruangan yang lebih luas jika keempat anak-anaknya berkumpul meskipun hanya sekedar mengobrol dan menonton televisi yang mereka nyalakan namun mereka abaikan. Dan saat malam tiba, anak-anak akan kembali ke kamar mereka masing-masing supaya bisa tidur dengan lebih nyaman dan belajar dengan lebih tenang.

Bisikan-bisikan lirih pasang paruh baya itu, mau tak mau menembus dinding kamar anak tertua mereka yang memang berada paling dekat dengan ruang tengah rumah.

"Jika seandainya, besok atau lusa Bapak pulang. Bapak ijinkan kalau Ibu mau nikah lagi." Suara lirih namun bernada tegas ayahnya membuat sang gadis mematung seketika.

"Bapak ini ngomong apa?" jawab ibunya dengan nada yang sama lirihnya. Ada nada tak suka dalam suaranya. "Bapak yakin aja kalau Bapak itu bakal sembuh. Inget, anak-anak masih butuh Bapak." Ucap istrinya masih dengan lembutnya. Si gadis yang mendengarkan perbincangan kedua orangtuanya itu hanya bisa diam dengan mata memanas yang perlahan menggenangkan airmata dan jatuh di kedua pipinya. Ia mencoba meredam isakannya dengan menutup mulutnya dengan bantal guling yang sejak tadi dipeluknya.

Ayahnya, pria berusia menuju lima puluh tahun itu memang sudah divonis dokter memiliki kanker paru sejak satu tahun yang lalu. Kini, pria yang dulu bertubuh tinggi besar dan memiliki kelebihan berat badan itu hanya terbaring lemah bersisa tulang berbalut kulit. Beliau sudah kesulitan makan, kesulitan bernapas. Meskipun pria itu tak pernah mengeluhkan kesakitannya, tapi justru hal itu membuat orang-orang di sekelilingnya selalu merasa kasihan dan tak tega melihatnya.

Ayahnya juga sudah satu tahun ini tidak bisa bekerja. Yang menyebabkan sang ibu menjadi kepala keluarga dengan bekerja sebagai pembuat kue-kue yang dititipkannya ke toko-toko. Sementara di keluarganya, ada dirinya dan juga ketiga adiknya yang masih perlu biaya untuk sekolah.

"Ibu gak usah mengkhawatirkan anak-anak." Ucap ayahnya membalas ucapan sang istri. "Setiap anak memiliki rejeki mereka masing-masing. Allah sudah mengatur takdir mereka sebelum mereka lahir." Lanjutnya masih dengan lirih yang gadis itu tahu perlu perjuangan untuk bisa mengucapkan setiap suku katanya.

"Bapak.." ucap ibunya dengan lirih.

"Ibu yang kuat." Ucap ayahnya dengan terengah. Yang membuat isakan istrinya terdengar. Gadis yang berdiam di kamarnya pun sama. Menangis dalam keheningan dengan harapan isakannya tak terdengar sampai keluar. "Percaya saja. Karena rejeki itu bukan datang dari Bapak. Tapi dari Allah." Lanjut ayah si gadis lagi. "Bapak juga sudah lelah." Ujar sang ayah. "Bapak kasihan sama Ibu. Ibu pasti capek karena ngurusin bapak yang malah gak guna seperti ini."

Terdengar ibunya terisak pelan. "Ibu gak lelah. Ibu juga gak capek. Ibu sayang sama Bapak. Jadi kalau Bapak sayang sama Ibu. Bapak juga bertahan sama Ibu."

Dan mungkin itulah yang disebut dengan firasat sebelum kematian. Karena sebulan setelah perbincangan itu didengar. Sang ayah benar-benar meninggalkan sang istri dan keempat anak mereka. "Allah lebih sayang sama Bapak." Ucap ibunya setelah ayahnya dinyatakan meninggal dunia. "Kalian boleh menangis, tapi kalau kalian memang sayang sama Bapak. Doakan Bapak, semoga Allah menjadikan sakitnya sebagai penghapus dosanya. Semoga Allah menempatkan Bapak di tempat yang mulia di sisi-Nya." Ucap Ibunya dengan linangan airmata tanpa suara seraya mengetatkan pelukannya pada putri bungsunya.

Meta, putri sulung keluarga itu, yang baru saja berusia sembilan belas tahun hanya bisa merangkul bahu kedua adiknya dengan erat.

Ya Allah, aku tahu ini ujian dari-Mu. Aku tahu bahwa Kau menyayangi Bapak, itu sebabnya Kau mengambilnya dari kami. Aku tahu bahwa takdir bapak hanya sampai disini. Tapi bolehkah aku meminta. Bisakah Engkau memudahkan kehidupan kami selanjutnya? Bisakah Kau meringankan beban ibu? Jadikan aku anak yang berguna untuk ibu dan juga ketiga adikku. Lancarkan rejeki kami, Ya Allah. Lapangkan rejeki kami, bukalah pintunya dari segala arah yang halal. Amin. 

Melawan RestuWhere stories live. Discover now