04

562 66 5
                                    

Surat lolos seleksi kerja lebih dulu Juang terima dibanding surat kelulusan dan ijazah SMKnya. Entah Ibu harus menanggapi bagaimana dengan kenyataan ini. Di satu sisi ia bangga, di sisi lain, berat rasanya melepas putranya jauh. Meski kampung halaman dan kota rantau yang dituju Juang hanya memakan waktu delapan jam perjalanan dengan menggunakan kereta api, namun rasanya sesak sekali melepas anak lelaki tertua itu keluar dari rumah.

Ia berangkat besok sore. Bersama rombongan dengan diantar guru sekolahnya. Biaya akomodasi sudah dibayar oleh Pakde Widi -yang tentu saja masuk di buku catatan hutang Juang. Sesungguhnya baik Pakde dan Buk Lik selalu ikhlas membantu. Mereka bahkan tidak pernah tau bahwa Juang mencatat pemberian-pemberian kerabatnya jika itu untuk keperluan sekolah atau uang jajan. Namun Mbak Ayesha selalu menekankan pada Juang untuk tau diri. Menerapkan dalam kepala untuk mengembalikan pemberian orang-orang yang mengulurkan tangan saat mereka susah.

Orang-orang yang ikut mengenyangkan perut mereka sendiri saat kamu tertawa bisa datang dengan mudah tanpa kamu panggil; namun yang mengulurkan tangan saat kamu jatuh tidak akan sebanyak teman yang bisa diajak tertawa. Jangan lupakan jasanya. -pesan Mbak Ayesha.

"Mas, kerjanya jauh ya?" Aji bertanya -dengan matanya yang masih sibuk melirik ke arah televisi. Upin Ipin merebut seluruh atensinya, namun mulutnya yang gatal itu tetap melontarkan tanya.

"lumayan."

"lebih jauh dari tempatnya Mbak Yesha?"

"wah, kalau dibanding sama tempatnya Mbak Yesha, tempat Mas Juang kerja nanti jelas lebih jauh."

"bakalan jarang pulang, dong?"

Juang terdiam kemudian. "diusahakan sering pulang."

"nanti rumah sepi..." Aji menerawang langit-langit rumah kontrakan mereka.

"halaaah... kayak sering di rumah aja kamu. Biasanya juga ngayap urek-urek nyari belut."

Aji nyengir bajing. "tapi kan kalau sore tetep pulang. Nanti dirumah cuma berdua sama Ibu."

"sering-sering bantuin Ibu, ya!" ujar Juang, "belajar prihatin. Aji sudah semakin besar... sudah harus paham bahwa cara dunia ini bekerja tidak selalunya sesuai dengan maunya manusia. Jangan main terus."

Aji memeluk Juang tiba-tiba. Random sekali untuk ukuran remaja tanggung yang tak menyukai skinship.

"seandainya Bapak masih ada..."

"seandainya nggak akan ngebawa kita kemana-mana Ji." Potong Juang.

Aji terdiam. Si kecil itu bukannya tidak sadar bahwa ada beban berat yang ditanggung dua saudara tuanya di pundak. Namun Aji belum punya banyak hal yang ditawarkan untuk membantu.

"Mas..."

"kalau Mas dan Mbak Yesha sudah sukses, jangan tinggalkan kami di belakang."

Juang memandang adiknya dengan bola mata berkaca, "nggak akan."

------

Lagi-lagi malam sunyi yang selalu jadi saksi kebersamaan Juang dan Ibu.

Perempuan yang mulai memiliki keriput di sudut mata dan jemari lentiknya itu membantu Juang mengepak barang. Satu tas yang berisi berkas penting dan baju-baju; serta dus bekas air mineral yang dipenuhi Ibu dengan beberapa camilan. Sesekali perempuan itu menyusut air matanya. Melapangkan hati untuk melepas anak tengahnya merantau -keluar dari rumah.

"bawa jaket, Nak..."

"nanti di pakai pas berangkat, Bu. Biar nggak sesak banget tasnya."

"di ingat-ingat lagi, takut ada yang lupa terbawa."

"iya, Bu."

"Juang..."

"dalem..?"

Ibu memindahkan beberapa lembar uang dalam kepalan tangannya pada Juang. Ada air mata yang lagi-lagi jatuh di pipi renta itu.

"nggak usah, Bu..." tolak Juang. "kemarin sudah di bekeli sama Pakde."

"Ibu juga kepingin kasih bekel untuk anak Ibu selain doa... nggak banyak, memang. Tapi bisa kamu gunakan kalau kepepet."

"buat Ibu jualan besok gimana? Buat Aji?" Juang sungkan, "aku masih pegang uang kok Bu..."

"jangan di tolak, Nak." Pinta Ibu. "Cuma ini yang bisa ibu kasih..."

Juang jatuh bersimpuh di lutut Ibu. Mengecupi kaki-kaki Ibu yang mulai berkeriput. Hatinya menyesak dengan segala kesusahan yang perlu mereka lewati.

"doain Juang ya Bu... doakan langkah Juang..."

"doa Ibu menyertaimu. Insya Allah Ibu ridho akan semua langkah yang kamu tuju, semoga dengan ridho Ibu, Allah memudahkan jalanmu meraih cita-cita." Ibu berujar tulus, "pinter-pinter bawa diri ya, Nak. Jangan tinggal sholat juga jangan lepas wiridmu. Gusti Allah mboten sare, Nak..."

-----

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jalan Juang || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang