16. Janji yang Tak Terpenuhi

27 13 0
                                    

♬ Lost in longing,I’m standing still

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lost in longing,
I’m standing still ...

⇆ㅤ ||◁ㅤ❚❚ㅤ▷||ㅤ ↻

"Aku cuma mau kebebasan, Pa!"

Pria berusia kepala empat itu menghela napas panjang. Percakapan ini lagi. Sepanjang sejarah kehidupan keluarganya, topik semacam ini memang paling efektif untuk menghancurkan suasana. Telanjur. "Dengar. Papa enggak mau kondisi Langit makin parah, oke? Papa enggak akan pernah membatasi apa yang Langit mau, selama itu enggak bikin Langit kenapa-napa."

Napas Langit memburu. Bahu ringkih itu bergetar, naik-turun, bersesuaian dengan ledakan emosi yang tak terkendalikan di dalam sana. Tangan Langit terkepal kuat. "Aku cuma pengin merasa hidup, Pa. Tanpa beban, tanpa ketergantungan, tanpa ketakutan-ketakutan yang selalu gentayangan selama ini."

Dengan raut cemas, Aksa mengusap-usap puncak kepala Langit perlahan. Sorot mata sayunya terus menjelajahi setiap senti wajah Langit yang pucat sekaligus tampak menahan amarah. "Iya. Papa paham."

"Enggak. Papa enggak tahu dan enggak akan pernah paham. Aku yang merasakan sakitnya, aku yang terus dilarang ini-itu, aku yang lagi-lagi hidupnya cuma berorientasi di antara terapi dan ceramah basi dokter-dokter," serobot Langit. Cairan bening akhirnya menetes dari pelupuk mata hitam legam itu. Tidak. Kenapa ia malah menyakiti papanya begini?

Rasa sesak sekaligus penyesalan mulai menyeruak makin banyak. Langit menunduk dalam, berusaha menetralkan buncahan emosinya. Tenang ... tarik napas dalam-dalam. Setelah hanya terdengar deru napas tak beraturan dalam belasan detik lamanya, Langit pun memejamkan mata, lantas menghambur pada pelukan papanya.

Kaget dengan aksi dadakan itu, Aksa mematung, lantas mengulas senyuman getir. Tangan kokoh pria menjelang usia kepala empat itu balas mendekap punggung Langit erat-erat. Detik berikutnya, terdengar suara lirih Langit. "Maaf. Maafin Langit."

"Enggak apa. Pelan-pelan, ya. Semesta pasti punya rencananya sendiri. Bukan salah Langit, kok. Papa malah kagum sama Langit." Masih dengan dekap yang bertautan, Aksa mengedarkan pandangannya ke sekitar rumah. Tak sengaja, netra Aksa malah bertabrakan dengan tatapan cemas istrinya yang menyaksikan mereka dari balik dinding pembatas dapur dan ruang tamu. Lagi, Aksa tersenyum menenangkan. "Langit anak Papa yang kuat. Papa aja belum tentu bisa sekuat Langit."

Langit hanya anak-anak ....

Entah bagaimana mengatakannya, tetapi semenjak mendapat diagnosis dokter pada lima tahun silam, Langit seolah tak mengenal lagi yang namanya kehidupan. Remaja? Dewasa? Rasanya, sampai saat ini pun, Langit merasa dirinya terjebak dalam masa kanak-kanak. Langit belum beranjak dari masa di mana dirinya hanya belajar  dan terus bermain, tidak memedulikan apa pun.

Mungkin itu mekanisme pertahanan dirinya untuk mengelak dari kenyataan mengenai hitungan mundur kehidupan ... mungkin saja.

Langit makin membenamkan kepalanya di dada bidang Aksa. Selama ini, Langit tak mampu kembali naik ke permukaan ... Langit sudah kesulitan bernapas sejak awal, kenapa tidak sekalian tenggelamkan saja dari sekarang?

Persimpangan Angan [OPEN PO]Where stories live. Discover now