Bab Ketiga: Mereka

66 8 5
                                    

Anggap saja kini mereka sudah berpacaran. Sudah menjalin kasih di bawah langit tanpa menghiraukan norma yang ada. Mereka terlalu berani, untuk bisa menaklukkan dunia yang kejam tiada henti. Karena Malka punya Kala, dan Kala punya Malka.

"Kalo misal gue tanya cita-cita, lo jawab apa, Mal?"

Mata itu menyipit seiring dengan asap yang keluar dari mulutnya. Gak tau, Malka benar-benar buntu jika ditanya soal cita-cita, entah mengapa. Rasanya masih abu-abu, belum ada bayangan untuk masa depan.

Laut di depan mereka tak jadi perhatian Kala sekarang, sebab cowok itu masih setia dengan wajah Malka di sampingnya yang tengah merokok khidmat saat ini. Ia sebenarnya juga mau merokok, tapi Malka memarahinya barusan karena ia terus-menerus batuk, paling-paling juga karena begadang dan es teh manis dingin di malam hari.

Malka menggeleng, ia lihat matahari terbenam di ujung sana. "Gak tau, Kal, gue bingung," Ia comot kerupuk kulit yang ada di antara mereka. "Kata Ibu Ayah gue sih PNS,"

Kala angguki ucapan Malka barusan. Semoga saja, Malka bisa wujudkan harapan orang tuanya. Semoga saja, Malka benar-benar jadi PNS. Semoga saja, Malka bisa ajak foto keluarga dengan dirinya dan wajah super bangga Ibu Ayahnya.

Jujur saja, kalau ditanya cita-cita, Malka tak tahu harus jawab apa. Ujung-ujungnya ia akan jawab seperti jawabannya kepada Kala tadi. Karena sampai detik ini, kehidupannya sudah diatur oleh orang tuanya. Ia hanya tinggal berkata 'iya' dan menjalaninya sesuai arahan.

Seperti Malka dua tahun lalu di ruang tengah saat itu, duduk di depan kedua orang tuanya dengan tangan bertaut dan kebingungan di kepalanya. Kedua adiknya ada di pojok ruangan, sedang bermain dan belajar kecil-kecilan.

"Tapi abang mau bahasa, Bu," Sanggah pertamanya, kepada sang Ibu yang memintanya masuk jurusan IPS.

Malka sangat suka belajar bahasa, ia sudah mantap dan niat hati masuk jurusan bahasa saat SMA nanti. Tapi apa? dua hari menjelang try out kedua orang tuanya malah membujuk dirinya untuk banting stir dan ambil opsi untuk masuk IPS, benar-benar terbalik dengan tujuannya.

"Abang, kan sekarang banyak media buat belajar bahasa? Gak perlu masuk jurusannya kamu bisa jago kok,"

"Iya abang, ambil IPS aja ya?" Kali ini ayahnya, dengan kacamata bening dan pandangan setenang mungkin. Mencoba membujuk anak sulung kebanggaannya yang tengah bergelut batin.

Terdengar helaan nafas berat Malka, "Jurusan bahasa udah jadi impian aku, bu. Kan, Ibu tau?"

Kedua orang tuanya saling berpandangan, seperti tengah berdiskusi walau hanya lewat sorot mata. Ibu yakinkan ayah untuk coba bujuk terus anak sulungnya ini. Sampai anaknya berkata 'iya' untuk masuk IPS dan belajar ekonomi.

"Kalau kamu masuk bahasa, masa depan kamu nanti jadi apa, bang? Coba kalau IPS, nanti mudah masuk jurusan kuliah lewat jalur rapor, kan?" Malka tatap wajah ayahnya. "Gak perlu lintas jurusan segala macam, kan itu juga butuh energi ekstra,"

Malka hembuskan nafas beratnya, ia pijit pangkal hidungnya di depan Ibu Ayahnya. Sengaja, agar mereka tau dinego-nego seperti ini bukan perihal yang ringan, berat. Malka hanya takutkan jika nanti ia benar-benar masuk IPS, ia tidak bisa belajar dengan sepenuh hati, karena memang jurusannya bukan yang ia mau.

"Nanti kalau sudah lulus SMA, terserah kamu mau pilih univ yang di Jogja atau yang di dekat sini," Senyum Ibunya terlihat, namun bukan itu yang menjadi poin Malka. Barusan, apakah ia ditawari atau harus masuk di antara universitas itu?

Jadi kuliah nanti ia juga diatur?

"Bu, kata Ibu aku boleh tentuin sendiri jurusan di SMA ku nanti? Ibu Ayah cuma urus aku sampai SMP aja, kok ini malah sampai kuliah?"

Complete • MashikyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang