Ara

5 0 0
                                    


Bagiku hujan membawa kesialan. Bagaimana tidak karena hujan kita tidak bisa beraktivitas, karena hujan bencana datang, dan karena hujan pula hubunganku kandas. Mata ku menatap kesal kepada butir-butir air yang turun dari langit, sudah pukul 20.30 dan hujan tidak menunjukan tanda-tanda akan berhenti. Kantorku pun sudah sepi sejak satu jam lalu. Hanya ada aku dan Pak Andi yang tengah berjaga di di gerbang depan.

"neng Aca maaf banget nih payungnya habis dibawa semua, neng Aca lagian tumben belum pulang." Ujar Pak Andi yang sudah berada disampingku.

"iya pak gapapa deh, aku tunggu sampai berenti aja. Tadi ada revisi dadakan pak makanya lebih lama dari biasanya."

Badanku ku senderkan pada tiang gedung tinggi ini, mata ku menatap kosong jalanan ibu kota yang sudah mulai sepi. Satu bulan yang lalu ketika aku harus lembur tiba-tiba itu bukan perkara yang besar karena ada Arkan yang siap menjemputku di kantor pukul berapa pun. Namun sekarang tidak ada lagi seseorang yang bisa ku andalkan.

Malam itu aku lembur sampai pukul 10 malam, Arkan menjemputku seperti biasanya dengan senyum seperti biasanya pula. Malam itu hujan cukup deras, hingga beberapa jalanan ibu kota harus ditutup karena tidak bisa dilewati.

"kita mau makan dulu gak? Aku laper banget." Rengek ku karena udara dingin ini membuat ku cukup lapar, membayangkan menyeruput kuah bakso atau ramen membuat ku tidak sabar.

"langsung aja ya? Aku capek banget" ujar Arkan sambil memijit pelipisnya.

"kamu sakit? Atau kerjaan lagi banyak?" tanyaku penuh perhatian yang hanya dibalas dengan senyum tipis Arkan.

Mobil Arkan sampai tepat di depan rumahku. Jalanan komplek cukup sepi melihat sekarang pukul 22.30. Seperti biasa aku mencium pipi kanannya sebagai ucapan terima kasih telah mengantarkan ku sampai rumah. Baru saja tanganku menyentuh pembuka pintu mobil tiba-tiba tangan kiri ku ditahan oleh Arkan.

Aku menatapnya dengan tatapan apa?

"Aca.. kita harus batalin pernikahan kita." Ucap Arkan dengan wajah pucatnya. Wajahnya sangat pucat seperti wajahnya 2 minggu lalu saat aku menjenguknya di rumah sakit karena gejala tipes.

Aku menatapnya aneh, "kesambet apa kamu?" ujar ku cukup datar.

"besok aku ketemu sm orang tua kamu untuk bilang pernikahan kita batal, gedung dan lain-lain udah aku cancel juga tadi siang. Undangan baru setengah yang dicetak dan udah aku cancel juga minta ke Mas Tita." Jelasnya.

Aku membulatkan mata. Mencoba mengingat-ingat apa ini hari ulang tahun ku atau hari annivesary kita sampai-sampai Arkan membuat lelucon seperti ini. Namun nihil, tidak ada hari penting apa-apa di hari ini!

"maksud kamu apa sih?" tanya ku masih tidak mengerti. Enak saja tiba-tiba pernikahan di depan mata dibatalkan, lelucon apa lagi hari ini selain tiba-tiba Mbak Atira atasan ku meminta data dari 5 tahun yang dimana saat itu aku sudah kerja disitu pun juga belum.

Arkan diam, wajahnya menunduk. Bibirnya kelu.

"Arkan! Jelasin ke aku maksudnya apa!" nada bicara ku mulai meninggi. Otak ku panas berusaha mencerna kata-kata Arkan sebelumnya namun tetap aku tidak mengerti kenapa ia membatalkan pernikahan secara sepihak.

"Rena hamil Ca"

"ya trus kenapa kalo teman kerja kamu hamil? Apa hubungannya dia sama pernikahan kita 3 bulan lagi?" mata ku berair, aku masih belum bisa mengerti benang merah di sini.

"hamil anak aku Ca." ucap Arkan mengangkat wajahnya.

Mata kami bertemu, wajahnya lebih lebih pucat dari sebelumnya. Arkan menangis, air matanya jatuh perlahan. Wajah ku? Aku tidak tahu harus memberikan ekspresi apa di wajahku. Yang ku yakin saat itu aku cukup tenang untuk ukuran wanita yang baru saja pernikahannya batal karena calon suaminya menghamili teman kantornya.

Aku turun dari mobil tanpa melihat lagi wajah Arkan, perasaan marah dan jijik mendominasi hatiku. Aku berjalan lemas ke arah pagar rumahku, seakan-akan tulang ku diangkat dengan tiba-tiba. Badan ku basah karena hujan cukup besar saat aku turun dari mobil dan berjalan ke pagar rumah.

"kok basah banget? Emang Arkan gapunya payung Ca?" sapa mama saat aku baru saja masuk ke dalam rumah.

"ketinggalan ma"

Aku tersenyum pahit, setidaknya hujan ini bisa menyembunyikan air mata ku yang turun.

Air mataku turun perlahan, dengan cepat aku menghapusnya. Bayangan Arkan tiba-tiba memenuhi pikiranku. Sial sudah berapa lama sih hujan ini? Apa ia sengaja mengejekku agar aku ingat malam itu?

Ku keluarkan ponselku yang sejak tadi di dalam tas. Mencoba menghubungi beberapa teman atau keluarga. Baru saja aku ingin menekan tombol telepon mama, tiba-tiba bahu ku ditepuk pelan.

"Mau bareng? Saya mau ke stasiun MRT disana." Ucap laki-laki kemeja biru muda dengan lengan yang sudah digulung sambil memegang payung.

"oh sorry, Anta." Dia menjulurkan tangannya.

Aku terdiam cukup lama melihat wajahnya, lalu menjabat tangannya. "Aca"

"jadi? Mau bareng?" ucap Anta dengan senyuman. Jujur saja senyumannya manis bukan kepalang, aku sampai malu dibuatnya.

"boleh."

Dengan malu-malu aku mengiyakan tawaran tersebut. Baru saja sekitar 10 kaki keluar kantor tiba tiba saja mobil melaju kencang di samping ku dan dengan sigap Anta langsung memutar badannya untuk meindungi aku dari percikan air.

"eh bajunya basah banget, Ta" ucapku sambil melihat bagian belakang bajunya. Benar saja bagian belaknag baju Anta sudah basah dan melekat sempurna di kulitnya memperlihatkan lekukan sempurna punggungnya.

"gapapa, daripada baju kamu yang basah bahaya nanti." Ucapnya masih dengan senyuman mematikan.

Sejak saat itu aku yakin selain hujan mendatangkan bencana, terkadang hujan juga turun bersama harapan-harapan yang baru.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 22, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Unpredictable (short)Where stories live. Discover now