7. Takdir

17.4K 1.3K 11
                                    

Dan takdir menjalani kehendak-Mu ya Robbi
Ku berserah ku berpasrah hanya pada-Mu y Robbi
Dan teetakdir menjalani segala kehendak-Mu ya Robbi
Ku berserah ku berpasrah hanya kepada-mu ya Robbi

**

Siang yang begitu terik dimana sang matahari seakan tengah memamerkan cahaya yang begitu menyilaukan di langit hingga membuat bumi yang semula gelap menjadi terang benderang.

Dimas menelan ludahnya, tenggorokannya terasa kering seperti tanah yang retak tak tersiram hujan, mendudukan pantatnya yang bulat pada kursi panjang di depan warung lesehan penjual gado-gado. Tempat ia mengisi perutnya siang ini karena masih terlalu jauh perjalanan kembali ke kantor dan Dimas memutuskan mampir disini untuk mengisi perut yang meneriaki kata makan.

Suara Adzan mengalun merdu dari masjid agung yang berjarak tak terlalu jauh dari tempat Dimas duduk, Ia menatap bangunan megah dengan dua kubah dibsetiap sisi yang indah di pandang mata.

"Mas-nya ndak sholat jum'at toh?, itu sudah adzan" suara lembut wanita paruh baya dengan jilbab kuning pudar itu membuyarkan lamunannya, Dimas mendunduk lalu tersenyum kecil. Bingung apa yang harus ia jawab.

Ia kemudian mengambil mug yang berisi es teh manis, meminumnya hingga menyisakan se-per-empat mug,  sebelum melangkahkan kakinya ia tersenyum singkat pada ibu penjual yang di balas senyum tulus dari ibu penjual.

Dimas menaiki setiap undakan beberapa anak tangga sebagai akses utama masuk ke area teras masjid, dengan ragu namum hati yang terus membimbing menyuruhnya masuk.

Lamat-lamat terdengar lantunan ayat Al-fatihah dari imam yang memimpin jalannya sholat Jum'at yang di khususkan untuk kaum pria muslim.

Langkah Dimas mendadak terhenti tetap pada ambang pintu utama masjid, kakinya terasa lemas seakan semua sendi tak bekerja semestinya, lumer seperti lilin yang terbakar api.

Jantungnya berdegub kencang dan matanya berkaca-kaca, ya tuhan ia merasa terguncang dengan nyanyian ayat suci yang mengalun samar masuk kedalam indra pendengarnya.

Dimas ambruk, Kakinya tertekuk akibat tak kuat menyanggah tubuhnya sendiri, isakan pelan kian ikut menemani rasa hampa yang selama ini ia rasakan.

"Ya tuhaan" Terbayang akan setiap dosa yang ia perbuat di masa hidup, hingga kedua orang tua yang ia sayangi berpisah di mana ia menangis sendiri dalam kamar yang remang dan sepi hanya terdengar umpatan yang orang tuanya lontarkan satu-sama lain.

Kenangan masa kecil yang kembali menguap pada bayangan buram.

**

Sudah sebulan lebih Adolfo Grub kehilangan sosok pemimpin yang rupawan dengan tingkat ketampanan melebihi batas, tanpa kabar berita sehingga membuat semua resah, bertanya-tanya kemana Dimas menghilang.

"Apa masih belum ada kabar Bi?"

"Belum pak, saya hubungi pun tetap di luar jangkauan" Jawab Bian sopan, matanya menatap pria paruh baya dengan sorot mata selalu sayu sebulan ini.

Arya Adolfo ayah dari Dimas, ia menggantikan Dimas semenjak anaknya menghilang dan sampai saat ini belum ada tanda-tanda keberadaanya dimana.

Memijat pangkal hidung untuk meredakan rasa pusing akibat kepergian anaknya.

"Ya sudah, kalau dia menghungimu beri tahu saya"

"Baik pak, saya permisi" Bian mengangguk sopan lalu berbalik, melangkah keluar ruangan.

**

Bian menghela nafasnya saat menutup ruangan pak Arya, ia melangkah dalam diam dengan fikiran ikut memikirkan dimana Dimas pergi dan tak pernah kembali lagi.

Suara gaduh sepatu menapak lantai marmer membuat fokusnya langsung buyar Bian mendongkak menatap pria berkemeja putih tengah menyesuaikan deru nafas yang memburu akibat berlari.

Matanya membola, walau sudah lebih dari 6 tahun tetapi ia masih mengingat wajah tampan itu, matanya berkaca-kaca dengan tubuhnya mendadak kaku.

"Sorry, dimana ruanganan om Arya?" Mata  itu bersitatap memunculkan segurat rasa kaget pada tubuh pria itu.

Bian meremas tanganya kuat-kuat untuk menahan kobaran api yang mendadak membara dalam hati, lalu secepat kilat ia berlari menembus angin yang berhembus pelan.

Seakan takdir tengah mempermainkannya, dan rasanya begitu menyakitkan hingga ke hulu hati.

**

"Assalamualaikum" kiva melangkah pelan menapaki keramik putih rumahnya yang sepi.

"Ibu, ayah" panggil kiva saat tak mendapat balasan salam darinya, ia melangkah kearah dapur dan tetap tak ada kehidupan hanya benda mati yang mengiasi setiap dinding dan rak.

"Assalamualaikum" Bian membalikan tubuhnya, ia mengulum senyum lalu membalas salam kedua orang tuanya.

"Ayah sama ibu dari mana?" Tanya kiva seraya mengecup khidmat tangan kedua orang tuanya bergantian.

"Dari pengajian di mushola, kamu baru pulang atau dari tadi?" Balas sang ayah pelan.

"Baru pulang yah" jawab Kiva.

"Duduklah, ayah mau bicara" Kiva mengernyit ia menatap wajah sang ibu yang mengulum senyum, lalu kiva menurut dan duduk di kursi kayu yang terdapat di ruang tamu.

"Kau tau rasulullah saat menikahkan Fatimah?, ia tak memandang seberapa banyak harta calon suami untuk putrinya, tetapi seberapa kuat keimanan dan ketakwaannya kepada allah. Rasulullah menerima pinangan Ali bin Abi Thalib bukan abu bakar dan umar yang lebih kaya dari Ali Bin Abi Thalib . Tiada orang tua yang mau menjerumusan anaknya dari kesengsaraan tetapi ingin anaknya hidup dalam jalan yang di ridhoi allah. Kamu ngerti kan?"

Kive mengangguk paham walau dalam hati merasa bingung dengan sang ayah menceritakan pernikahan Fatimah.

"Maksud ayah Begini tadi pak haji imran meng-khitbahmu untuk anaknya" ujar sang ayah langsung, membuat kiva merasa tenggorokannya tersumbat batu hingga sesak nafas. Jadi ini maksud ayahnya menceritakan kisah anak rasulullah padanya.

"Ayah" panggil Kiva pelan, ia tak tau respon apa yang harus ia terapkan untuk menyalurkan rasa kagetnya.

"Ayah tidak akan memaksamu, ayah juga belum menerimanya tetapi pak haji imran sangat berharap kamulah calon menantunya"

Kiva menunduk dalam, kebimbangan merayapi hati, membuatnya hanya bisa menggigit bibir.

"Ya allah apa ini jalan takdirmu yang harus hamba hadapi?"

***

Terimakasih mau membaca dan vote cerita ini!!

2 Hati (Dimas-Kiva)Where stories live. Discover now