The Duke's Darkside |28|

3.9K 311 35
                                    

"Apa yang bisa kalian jelaskan padaku?"

Sudah beberapa saat ketika mereka --David, Liam, dan bibi Lucy-- tengah duduk di beranda sebuah paviliun yang berada tepat di belakang bangunan utama. Meskipun telah sekitar sepuluh menit di sana, keheningan masih mengendalikan suasana. Dan kalimat yang pria bangsawan itu utarakan, bisa dikatakan sebagai pembukanya.

David tahu dua orang di hadapannya ini merasa bersalah karena gagal dalam misi mendadak itu. Namun ia juga tidak bisa menyalahkan keduanya karena memang situasi tadi tidak memungkinkan. Hanya saja, dia ingin penjelasan, itu saja.

"Kalian tahu betul aku bukan tipe orang penyabar, right?"

"Saya hanya tidak tahu harus dimulai dari mana, Tuan. Semua mengalir begitu saja, dan kami tidak bisa membantah ucapan Lady," jelas bibi Lucy setelah berjibaku dengan rentetan kalimat di kepalanya.

Menguatkan argumen dari sang kepala pelayan, Liam juga turut memberi pembelaan. "Aku selalu mengusahakan yang terbaik, begitu pula bibi Lucy, dan kau tahu akan hal itu. Namun, jika kami memaksa, Lady bisa mengendus rencana kita dan berakhir yang bahkan jauh lebih buruk bagi wanita itu."

David menghisap cerutu di sela jari telunjuk dan tengahnya, menghembuskan pelan hingga asapnya mengepul di sana. Tunggu, sepertinya dia melewatkan sesuatu. Bodoh sekali! Bagaimana David bisa lupa dengan meninggalkan Raina bersama dua serigala betina yang siap mencabik-cabiknya kapan pun mereka mau?

Ini tidak bisa dibiarkan. Maka dimatikanlah cerutu tadi di asbak, dan segera menuju ke bangunan utama tanpa sepatah kata yang terucap. Tentu saja, adegan itu mengundang tanda tanya besar di benak Liam dan bibi Lucy. Kemanakah pria itu pergi dengan langkah tergesa-gesanya itu?

Kembali ke David, sebelum dirinya sampai di teras belakang bangunan utamanya, indra pendengarannya menangkap isakan lirih dari arah taman sebelah barat. Beberapa waktu tinggal bersama membuat David paham betul bahwa isakan itu milik Raina.

Dan tebakannya tidak pernah meleset. Dia sedang ada di sana sedang berjongkok menenggelamkan wajahnya di lututnya yang ditekuk, tepat di depan sepetak lahan kecil dimana bunga Lily ditanam. David ingat betul, di detik-detik Gilbert akan segera dimutasi paksa ke sebuah daerah yang jauh dari Manchester, pria paruh baya itu meminta waktu satu jam untuk melakukan suatu hal.

Dan ternyata hanya untuk menanam bunga kesukaan Raina di sana. Gilbert bahkan rela membeli sendiri bibitnya sekaligus memindahkannya dari polymailer ke lahan tersebut. Beliau beralasan hanya ingin mengabulkan keinginan wanita muda itu yang sempat tertunda karena kejadian melarikan diri tempo hari.

"Bangunlah, Raina."

Di tengah isakannya, Raina sempat terkejut karena tiba-tiba saja David sudah berada dalam jangkauannya. Ini adalah kali pertama pria itu menyebut namanya, alih-alih gundik. Ada perasaan aneh yang bahkan ia tidak tahu bagaimana untuk ditafsirkan, menelusup di hati kecilnya. Semacam bangga, lega, dan bahagia.

Raina terhuyung, melalui pundaknya, ia dipaksa berdiri. Demi apapun, bahkan dirinya merasa tidak kuat menopang tubuhnya sendiri, jika tangan kokoh itu tidak lagi mencengkram pundaknya agak kuat.

"Kau masih saja cengeng, Raina."

Tentu saja! Si pria itu sudah berusia kepala tiga, sedangkan dirinya masih di angka belasan. Perbedaan umur yang mencolok itu sudah bisa menjadi patokan bagaimana ketidakstabilan jiwa mudanya. Meski begitu, tidak ada wanita muda yang sekuat dirinya, yang sudah bertahan sejauh ini di lingkaran menyedihkan bersama pria itu. Raina bahkan tidak tahu harus menyayangkan dirinya yang tidak berdaya, atau justru berbangga diri karena telah sekuat ini.

"Apa yang telah mereka perbuat kepadamu, hm?"

Satu tangan David berada di lingkar pinggang Raina, membawa tubuh ringkih itu untuk semakin mendekat padanya. Dan satu tangan lainnya, terulur mengusap jejak air mata yang belum mengering.

The Duke's DarksideWhere stories live. Discover now