Rapuh

39 6 7
                                    

Agra memukul dasbor beberapa kali dengan kuat. Lalu ia benamkan kepalanya di sana. Wajah Aini memenuhi benaknya.

“Aini, mengapa Anda melakukan ini pada saya? Tak bisakah Anda bertahan sebentar saja sampai saya datang membawa kabar baik, agar orang tua Anda memberi restu pada kita?”

Keadaan hening sampai beberapa menit lamanya. Hingga dering telepon memecah kesunyian di dalam mobil.

[Pergilah. Kami merestui kalian. Buktikan jika perbuatanmu ini membanggakan kami.] Suara berat yang berasal dari sambungan telepon tak membuat Agra berbinar.

“Sudah terlambat.”

[Apa maksudmu? Kami sudah melakukan tugas sebagai orang tua yang baik.]

“Dia pergi. Dan sekarang harus bagaimana? Hidup Agra selalu saja kacau.” Bulir bening yang hendak mengalir lewat sudut mata indahnya segera dihapus dengan kasar.

[Berjuanglah. Temukan wanitamu sampai ke ujung dunia. Dapatkan hatinya. Itu baru laki-laki sejati.]

Agra tak menjawab. Ia memutus sambungan telepon dari ayahnya. Menaruh ponselnya begitu saja di tempat semula.

Netranya menatap jauh ke depan. Di tepi jalan pedesaan itu, Agra menimang-nimang keputusan yang akan ia ambil.

“Sekarang bagaimana? Harus ke mana saya mencarinya?” Agra kebingungan. Ia tak mendapat petunjuk sedikit pun dari orang tua Aini. Mereka merahasiakannya, atau memang Aini yang menginginkannya.

Agra terpejam saat menyandarkan punggungnya. Tangannya memijit kening yang terasa nyeri. Di sela kekalutannya, pemberitahuan dari kantor pun memecah belah rencana yang akan ia lakukan.

Hari ini seharusnya Agra melakukan kunjungan ke Kabupaten Lumajang, tepatnya di Desa Argosari untuk meninjau sesuatu di sana.

Dengan malas ia melajukan kendaraannya kembali. Lelah baru terasa ketika harapan terbuang sia-sia. Bagaimana tidak? Dari Bandung ia langsung meluncur ke Surabaya, ke kediaman keluarga Aini, lalu menuju ke Lumajang saat itu juga. Kantuk ia lawan. Lelah ia terjang. Terkadang, amarah datang menyerang.

Suara klakson dari arah berlawanan mampu menyentakkan Agra yang tengah melamun saat mengendarai. Tidak seharusnya terbengong saat mengemudi. Namun, semua itu tetap akan terjadi dengan tak terkendali.

Agra membanting setir ke kiri dengan keras. Mobilnya menabrak warung kaki lima yang ada di pinggir jalan. Tuhan masih menyelamatkan pemiliknya, seorang wanita dengan balita di gendongannya.

Agra segera turun saat menyadari perbuatannya. Ia meremas rambutnya dengan kuat, lalu mengusap wajahnya dengan kasar.

“Ya Tuhan! Apa yang sudah kulakukan?” Agra kemudian mendekati pemilik warung kecil tersebut. “Bu, apa ada yang terluka? Maafkan saya. Sungguh. Saya akan mengganti semua kerugiannya sekarang juga.”

Jelas saja, orang yang tak jauh dari tempat itu tempat itu berbondong-bondong mendatangi tempat kejadian. Hampir saja Agra diamuk oleh massa, tapi di halangi oleh seseorang yang lebih tua di antaranya.

Agra pun dimintai keterangan dan pertanggungjawaban. Karena pemiliknya tidak mengalami luka dan mau berdamai dengan Agra, akhirnya masalahnya selesai. Ya, ia masih beruntung.

Kemudian, Agra melangkah lunglai masuk ke mobil. Ia sangat menyesali apa yang baru saja terjadi. Jika tadi ia tak banting setir ke kiri, maka nyawanya sudah melayang karena masuk ke jurang yang ada di sisi kanan jalan.

Diteguknya air mineral untuk menetralkan pikirannya. Ia juga menyantap roti yang ia beli dari toko pagi tadi. Belum sempat masuk ke mulutnya sedikit pun, terlupa karena otaknya hanya dipenuhi tentang Aini.

Setelah merasa yakin, Agra melajukan kembali mobilnya menuju desa yang amat indah pemandangannya. Baru pertama kali Agra ke sini. Ia harus sering berhenti untuk bertanya pada warga yang tinggal di sana.

Dan akhirnya, setelah melewati jalanan naik-turun dan berliku, Agra sampai di tempat yang ia cari. Sebuah bangunan rumah yang sedikit jauh dari tetangga lainnya. Bangunannya tampak tua. Namun, masih terlihat apik.

Agra langsung berjalan memasuki halaman rumah tersebut. Bunga-bunga yang berwarna-warni tumbuh dengan subur menghiasi depan rumahnya.

“Permisi.” Agra mengetuk pintunya beberapa kali agar pemiliknya keluar.

Sebentar menunggu, akhirnya pintu itu terbuka. Seorang wanita tua muncul dari balik pintu.

“Siapa?” Suara tuanya membuat Agra terkesima.

Bersambung ...

Berondong, I Love U!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang