Part 30 | Akankah Semuanya Lebih Baik Jika Aku Bicara?

5.6K 1.2K 459
                                    

Bad news is:
Kamu enggak bisa bikin semua orang suka sama kamu, ngertiin kamu, cinta sama kamu, menerima kamu, dan baik ke kamu. You can't control them either.

Good news is:
It doesn't matter.

_______________________________________













PROFIL risiko setiap investasi berbeda-beda. Return super dengan kerugian besar, risiko wajar dengan toleransi tinggi... semuanya disesuaikan dengan karakteristik pelaku. Tipe konservatif biasanya tidak sanggup menanggung kerugian besar, moderat mungkin hanya memiliki sedikit toleransi, agresif jelas nekat menerjang risiko plus kerugian.

Seni mengenal diri sendiri menjadi andalan sebelum terjun ke dalamnya. Hal yang sama pula berlaku untuk investasi perasaan.

Selama ini, Ana merasa mengenal dirinya sendiri, tahu mana hal yang bisa ia toleransi dan tidak, tetapi nyatanya tetap hancur juga waktu disakiti. Sok kuat dan sok bijak jadi makanan sehari-hari, meski kerap mengusap air mata saat sendiri.

The journey to mastering her own sailing is so rough. Fase terlukanya banyak sampai tidak bisa dihitung dengan jari.

"Makasih, Pak. Ini ada sedikit rezeki buat makan siang. Monggo diterima."

Kurir pengantar paket mengucapkan rasa syukurnya. Ana mengangguk sepintas, lalu membawa plastik berisi alat jahit menyusuri lobi. Hari ini seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Bumi masih berotasi, langit masih biru, bulan bintang masih merajai malam. Tidak ada neraka bocor, puting beliung, atau hujan seblak. Normal. Dunianya benar-benar baik-baik saja tanpa Deo. Jadi, seharusnya Ana juga baik, kan?

"Yah, mata gue panas lagi. Astaga, semaleman nangis enggak cukup apa?"

Baik apanya! Ana bukan batu fosil. Walau dari luar terkesan "I am happy so don't worry", lingkaran hitam di bawah matanya membeberkan kepalsuan yang ada.

Ia buru-buru berbelok ke wastafel terdekat sebelum ada yang memergokinya menangis.

"Lah, iya, kan? Dari awal, gue udah hopeless. Lo berdua aja yang sok-sokan ramah."

"Jujur, gue nyesel, sih, Din. Kerjaan Ana tuh main ponsel mulu. Gue sampai komplain ke HRD; apa bener Verizon udah turunin kriteria seleksi karyawan?"

"Ha-ha, terus gimana? Direspons enggak?"

Pintu wastafel baru terbuka sedikit ketika percakapan itu membekukan langkahnya. Niat masuknya diurungkan. Suara-suara itu Ana kenal betul siapa pemiliknya.

"Diresponslah. Orang HRD-nya bilang tunggu aja hasil probation keluar. Gue sampai screenshot tuh balesan terus kirim ke grup chat kantor yang enggak ada bos," tanggap Lila.

"Cerdas amat lo, La! Eh, omong-omong, lo kirim gambar apaan ke orang HRD? Gue belum sempet buka GC dari semalem," timpal Dinda penasaran.

Dari celah pintu, Ana menyaksikan dengan perasaan mencelus orang-orang yang tengah membicarakannya. Balasan Lila datang dalam kalimat menusuk.

"Cuma foto Ana yang lagi nelungkupin kepala menjelang break time. Kasih caption dikit-dikitlah biar ditanggepin. Eh, rame beneran, dong. Pada ngehujat semua."

"Serius? Wah, kalau kayak gini sih yakin banget si Ana enggak bakal lolos probation. Bagus, deh. Jadi enggak sabar lihat tuh anak mewek," pungkas Sia.

Selagi ketiganya tertawa, Ana mencengkeram plastik di tangannya erat-erat. Momen yang dimaksud Lila pasti saat Ana kelelahan akibat kurang tidur dan disuruh mengerjakan tiga income statement dengan deadline mepet. Pekerjaannya sudah selesai, jadi ia memejamkan mata sejenak agar pusingnya hilang. Ana tidak tidur, tapi ia tak tahu kapan Lila memfotonya.

With Luv, Ana [TAMAT]Where stories live. Discover now