PROLOG

6.4K 222 10
                                    

Malam itu hujan tampak seperti sekumpulan perak jatuh dari langit.

Gistara berlarian untuk cepat sampai di rumah, atau entah bisa disebut rumah atau tidak. Tapi, dia akhirnya harus pergi ke sana karena di sanalah kini dia tinggal. Mau tidak mau.

Dirinya basah, kedinginan sampai memeluk tubuh sendiri.

Kaus biru yang dikenakannya meresap membentuk lekuk tubuhnya. Tetes-tetes air berjatuhan membasahi lantai manakala ia mengendap-endap masuk setelah berhasil membuka pintu utama rumah itu.

Suasana remang sebab semua orang mungkin saja sudah tidur. Dan Gistara mencoba yakin bahwa dia tidak akan ketahuan menyelinap malam-malam begini setelah melarikan diri sejak kemarin sore.

Tetapi, dia salah.

Di ujung tangga, dia berpapasan dengan pemuda itu. Dia lagi. Gistara terhenyak seketika. Baru kemarin dia masuk dan pindah ke rumah ini, dan sosok itu sudah membuatnya begitu frustrasi.

Pemuda itu tampan dan tinggi. Fitur wajah yang tegas dengan sorot mata tajam. Rambutnya hitam legam dan kulitnya kecokelatan. Lengannya begitu kokoh dan dadanya bidang.

Kalau saja mereka bertemu dalam keadaan yang berbeda, mungkin Gistara akan memuja pemuda ini tetapi kini semuanya adalah nyata bahwa Ibunya menikah lagi dengan ayah pemuda itu, kini mereka terikat pertalian keluarga yang sangat tidak masuk akal bagi Gistara.

Mendadak dia punya ayah baru dan saudara tiri baru.

Ya.

Pemuda itu, Lingga Affandra, Abang tirinya.

Karena merasa tertangkap basah, Gistara kelabakan mencari-cari alasan. Dia panik. Meskipun Lingga seperti acuh saja dan terus melangkahkan kakinya menuju dapur.

"Nama aku Gistara."

Lingga berhenti. Detik berikutnya berbalik menatap Gistara.

Tengkuk Gistara meremang. Dia menelan ludah.

"Tapi temen-temen manggil aku Gita biar lebih gampang..."

Ekspresi Lingga tak terbaca. Tetapi tatapannya meneliti dari atas ke bawah pada tubuh Gistara yang basah kuyu.

Gistara yakin Lingga menaikkan sedikit sudut bibirnya sebelum berbalik. Sampai di depan kulkas kemudian mengambil sebotol air dingin untuk diminum hingga tandas.

Cuaca dingin tapi sepertinya Lingga tidak peduli.

Gistara memperhatikan Lingga. Tak lama saat Lingga akhirnya mendelik tajam padanya, barulah Gistara buru-buru menuju kamar di lantai atas.

Tetapi dia dengar Lingga bicara sewaktu Gistara sudah sampai di tengah-tengah tangga,

"Lo mau kemana?" tanyanya.

Gistara berhenti. Dia menatap lantai atas dan Lingga bergantian.

"Ke ... Kamar," jawabnya.

Lingga membanting pintu kulkas kemudian menghela napasnya menatap Gistara. Sambil menunjuk pintu di lantai bawah, pintu pertama di lorong.

"Kamar Lo di sana."

Gistara menggigit bibir bawah sekilas. Lalu buru-buru melangkahkan kakinya yang basah untuk turun meski di ujung tangga dia terpeleset dan terjatuh dengan bokong mendarat di lantai. Beruntung kepalanya tidak terbentur tetapi rasa malu menjalar dalam nadinya bersamaan dengan rasa sakit dan nyeri.

Dia melihat Lingga datang dan berdiri di hadapannya, mengulurkan tangan tanpa bicara sepatah kata pun.

Maka dengan nelangsa, Gistara menyambut tangan itu yang sangat-sangat terasa kuat. Dan menimbulkan efek yang membuat hati Gistara seperti tersengat.

"Makasih," Kak Gistara mengulum bibir bawahnya. Kerutan di dahi Lingga sudah cukup membuat Gistara mengerti bahwa pemuda itu tak habis pikir.

"Hati-hati," kata Lingga sebelum menggeser sedikit tubuh Gistara yang menghalangi tangga supaya ia dapat naik.

Gistara memandang kepergian Lingga dengan jantung yang berdebar sangat kencang sampai ia memegangi dadanya sendiri.

HELLO, STEP BROTHER! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang