38

210 49 2
                                    

Dengan keadaan basah kuyup, Jay dan Isabella pulang ke rumah. Jay menekan tombol pintu sesuai dengan pin yang Isabella atur dahulu.

"Bagaimana kau bisa hafal pin rumah ini?" tanya Isabella penasaran. Ia pikir Jay tidak pernah memperhatikan tangannya setiap menekan pin, dan juga pemuda itu tidak pernah menanyakan apa pin rumah itu.

"Entahlah. Mungkin karena kombinasi angkanya sama seperti tanggal ulang tahunku," ujar Jay. Begitu pintu terbuka ia mempersilakan Isabella untuk masuk ke dalam.

Tentu saja Jay sempat heran dengan kebetulan ini. Rasanya Isabella seperti mengetahui semua hal tentang dirinya, namun pemuda itu tidak mengetahui apa pun tentang Isabella selain kehidupannya yang sedikit sial.

Di dalam, Isabella tengah menggigil kedinginan. Ia pergi ke kamarnya dan mengambil sebuah handuk yang untungnya masih terkait di gantungan. Ia membungkus tubuhnya dengan handuk demi mendapatkan kehangatan.

"Lihatlah kucing yang baru saja tenggelam ini," ujar Jay mengejek. Melihat Isabella membuatnya teringat kepada seekor kucing yang tenggelam.

Isabella mendengus, ia memilih untuk mengabaikan ucapan Jay.

"Cepatlah mandi. Aku akan menyiapkan makan siang, begitu kau selesai mandi, aku akan mandi," ujar Jay yang tengah melangkah menuju dapur untuk memasak.

Isabella mengangguk pelan. Hidup seperti ini rasanya lebih menyenangkan. Ia tidak harus memikirkan siapa-siapa selain dirinya dan Jay. Ia juga tidak harus mengatur strategi untuk menjaga kerajaannya.

"Isabella! Mandi!" seru Jay memecahkan lamunan perempuan itu.

"Iya! Kau ini seperti ibuku saja," gerutu Isabella lalu bersiap untuk membersihkan tubuhnya.

Setelah membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya, Isabella menginjakkan kaki di dapur, mengintip apa yang sedang Jay lakukan. Aroma sesuatu yang dipanggang membuat perutnya semakin meraung-raung.

"Kau sedang memasak apa?" tanya Isabella.

"Kelinci panggang," jawab pemuda itu singkat.

Napas Isabella tercekat. "Woah! Apakah daging kelinci bisa dimakan? Aku baru tahu," ujar kagum. Lantas ia berjalan mendekati Jay yang tengah menata meja makan lalu meletakkan handuk basahnya di kursi kosong.

Ia memandangi piring besi berisi potongan daging panggang yang diletakkan ditengah meja. Kelihatannya tidak begitu buruk, walaupun tidak dihias secantik daging panggang yang ia makan di istana.

"Duduk," perintah Jay singkat. Bagaikan sihir, Isabella mematuhi ucapannya.

Tanpa berkata apa pun, Jay mengumpulkan rambut Isabella di genggamannya dan mengeringkan rambut basah Isabella dengan handuk yang menggantung di kursi. Dengan lembut ia memijat pelan kepala perempuan itu.

"Rambutmu masih sangat basah hingga tetesannya membasahi piring," ujar Jay menjawab semua pertanyaan Isabella yang tertahan di benaknya.

Tak sampai di situ, Jay mengambil karet lalu mengikat rambut Isabella yang tebal bagai ekor kuda. "Selesai," ujarnya sambil menepuk pelan kepala Isabella beberapa kali seolah Isabella adalah anak kecil.

"Tidak seharusnya kau mengikat rambutku. Kau bisa menyuruhku untuk mengikatnya sendiri," balas Isabella. Ia menolak fakta kalau ia cukup senang dengan perlakuan Jay.

"Apakah mengikat rambut perempuanku adalah suatu kesalahan?" Pemuda itu memasang wajah polos dan mendekatkan wajahnya dengan Isabella. Mulai detik ini Jay lebih senang memandangi wajah Isabella dari dekat, ia bisa melihat kilauan mata perempuan itu lebih jelas.

Perempuanku. Tidak Isabella sangka satu kata itu bisa membuat sekujur tubuhnya tidak berfungsi dengan baik. Matanya kanannya berkedut, ia menghela napasnya. Mengibas wajahnya dengan tangan supaya semburat merah di pipinya cepat pergi.

Noh AWhere stories live. Discover now