Lima puluh tiga

110 26 0
                                    

Hai, aku update lagi!!!

----

Lami mendatangi Andi yang katanya sudah berubah. Lami semacam penetral Andi, kalau ada orang yang membuat pemuda itu hancur lebur dan semua orang tidak bisa memperbaikinya, maka silahkan hubungi Lami yang akan meluangkan waktu khusus untuk Andi tiap harinya.

Tidak peduli dengan larangan Jayden, Lami berharap kedua orang Netherland brengsek dan satu orang tidak sopan itu mati ditangan orang yang tepat, bahkan Andi.

Lami tau sikap Andi, dan sebenarnya dirinya tidak ingin memanfaatkan sikap kelam saudara seperjuangannya ini.

"Andrew Eleazar Van Eerens. Sebuah kehormatan." Kata Lami sambil menaruh sebuah buah tangan dari Batavia.

Lami tau kalau desakan yang dilakukan Andi kalau dirinya memanggilnya Andika. Karena orang sinting didepannya memang jelas tidak pantas dipanggil dengan Andika, atau Andi. Dia bukan Andi yang dirinya kenal sejak kecil, tidak ada sorot belas kasih atau kelunakan lagi disana.

Penuh pertanyaan dalam dirinya, apa Andikanya terkurung, terantai diinti diri pemuda didepannya.

"Lamina Zaphaniah Jacqline Van Hasselt."

Lami tidak pernah menyebutkan nama panjang pemberian Cornelius atau Beatrix, dirinya bahkan hanya sekali mendengar nama itu saat datang ke Zaman antah berantah ini. Mendengar Andi menguncapkannya dengan lantang sambil tersenyum seperti pembunuh berdarah dingin, rasanya seperti menemui ajal dari eksekusi matinya detik ini.

Dirinya bahkan tidak pernah membayangkan kalau Andi menerima hak lahirnya dengan merubah ke pribadiannya. Ini keliru.

"Senang bertemu denganmu." Katanya.

Seharusnya hari ini dirinya menggunakan gaun seperti kaum Netherland saja.

Lami mengibaskan kipas lipatnya, mengipas ngipas wajahnya. "Senang juga bertemu denganmu, Tuan Muda Eerens." Katanya.

"Kenapa kita terlalu formal?" Tanya Andi sambil mengerut.

"Karena aku baru mengenal kepribadian Andrewmu, Eerens." Jawab Lami.

Biasanya Andi menyangkalnya sambil merangkulnya, memberitaunya kalau dia tetap sama, bahkan Andi akan mengajaknya berjalan jalan mencari buku di perpustakaan rumah. Lami harap Andi melakukan itu sekarang, karena kepercayaan dirinya sudah hampir menyusut. Pemuda itu malah menyeringai, lalu berjalan menujunya lebih dekat.

Lami hampir saja mundur, menahan rasa ingin gemetaran dan sujud kepada Andi. Tapi, Lami tidak boleh meruntuhkan wajah tegasnya, dirinya tau prinsip orang seperti ini.

Semakin kita lemah, semakin mudah untuk diinjak injak. Dan Lami tidak ingin bersengkokol dengan kotoran ayam di sol sepatu pemuda itu kalau dirinya benar benar diinjak injak.

Membayangkan berdialog dengan kotoran saja membuat Lami ingin menghabiskan separuh hari di tepi sungai sambil mengeluarkan isi perut. Apalagi itu benar benar terjadi.

"Jangan seperti orang asing, Lami. Aku Andi, aku menerima darah Netherland-ku. Dan aku masih tetap membela orang orang seperti kita dengan caraku. Aku akan membalas orang orang biadab dengan caraku sendiri, mungkin membalasnya dengan cara memperlakukan mereka sama seperti mereka memperlakukan kita." Katanya.

Lami menelan salivanya, untung saja Andi tidak melihat itu.

"Aku tidak sabar melihatnya." Ujar Lami hanya sebatas formalitas.

"Mama dan Papa menitip salam." Tambahnya.

"Apa mereka menyukai tentang kabarku?" Tanya Andi.

"Tidak tau, tapi kalau kamu tanya mereka terkejut atau tidak, jawabannya adalah iya. Kami tidak mengenalimu, bahkan Markus dan Delilah sekalipun yang berada di Prancis."

Untuk informasi kilat. Markus dan Delilah termasuk kedalam keluarga Hasselt, mereka sudah kembali ke Prancis, karena mereka menikah. Bukan berarti mereka inchest. Tapi memang pada dasarnya, mereka hanya anak anak angkat dan inti di keluarga Hasselt. Sama seperti Lami, Andi, Jacob, ataupun Dereck.

Karena sepasang suami istri itu sama sekali tidak bisa memiliki anak.

"Oh kabarku sudah terdengar ke mereka?" Tanya Andi terkejut.

"Ya, aku yang menulisi mereka surat akhir akhir ini."  Jawab Lami.

"Aku akan membuatmu senang Lami, orang itu harus di hukum setimpal dengan apa yang mereka lakukan terhadapmu." Katanya.

Lami menahan keterkejutannya lagi, dirinya berusaha senetral mungkin untuk menahan kejutan yang keluar dari mulut lawan bicaranya ini.

"Apa kamu mau mengucapkan sepata dua kata untuk kata kata terakhir mereka?"

"Kata kata terakhir seperti apa?"

"Seperti, semoga menikmati neraka atau semoga ini setimpal, atau kamu memberikan seringai kejimu." Jawabnya.

Bahkan, Lami tidak bisa menyeringai kejam. Penghinaan macam apa ini?

"A-anu, tapi bukannya lebih bagus lagi dan lebih-- woah kalau aku melihatnya du eksekusi?" Tanya Lami membuat Andi mengangguk angguk paham.

Setidaknya dirinya tidak di pancung atau ikut dieksekusi karena menoleh permintaannya.

"Lami, kamu adalah adik yang patut dibanggakan." Katanya.

Kriet...

Pintu dibuka.

Disana ada Ayu yang menggunakan Kebaya kelabu, seperti menghadiri pemakaman orang penting. Tapi, gadis itu memang sudah selalu menggunakan pakaian semacam duka itu selama kepergian William.

Lami sempat berpikir mungkin kebaya warna warni gadis itu dibakar, atau dijual untuk melupakan sisa sisa ingatan tentang William. Atau mungkin Ayu menyimpannya sampai dia bisa menerima dirinta lagi tanpa pemuda Netherland itu.

Lami sendiri tidak menganggap William jahat, dan bukan berarti menganggap pemuda itu baik. Tapi, Lami bisa memaafkan pemuda itu saat hari hari dia sakit.

Bahkan, Jay seperti orang sakit saat menemui Andi. Wajahnya pucat pasi seperti abis tertinju oleh kenyataan.

Karena mereka bertiga sejujurnya takut dengan sikap Andi yang sekarang ini. Yang mengeklaim dirinya adalah Andrew.

Lami akan melihat berapa jauh sikapnya ini.

NETHERLAND, 1860 [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang