[Ketiga]

2.5K 331 13
                                    

"Jadi, masih belum tau keberadaan adek lo?"

Sabtu sore dibulan Februari. Dua pemuda bersurai hitam legam itu duduk saling membelakangi. Diiringi suara angin kencang dan derasnya hujan, mereka berdua kembali menumpahkan keluh kesah masing-masing.

Kalau kata Abian mereka sedang ada dalam sesi adu nasib.

"Mau cari tau kayak gimana coba?" Bian menghela nafas, "lo kira kota itu cuma sepetak kandangnya si odol?"

Sebenarnya si pemuda sahabat Bian sudah ingin memukul yah paling tidak mengumpat lah. Tapi ia tau sekarang ini situasi sedang tidak mendukung.

Hanan sekarang ini sedang berada dalam fase galau berat kalau kata Rafka.

Ngga jelas apa yang ia jadikan bahan galau. Pokoknya galau ajaa dulu

"Tumben lo keinget mereka." Rafka bergidik saat merasakan udara dingin masuk kekamarnya.

Pemuda berpipi gembil itu tak menanggapi ucapan sahabatnya. Ia juga berpikir, mengapa dirinya mendadak teringat sosok ibu dan adiknya itu? Bahkan wajah keduanya pun Abian sudah lupa.

Perasaan gundah memenuhi relung hatinya akhir-akhir ini. Rasanya sangat tidak nyaman bagi Bian.

"Woi malah bengong." Rafka melempar selimut berwarna biru bergambar doraemon kepada sahabatnya itu.

Omong-omong Abian akan menginap malam ini. Ia tentu tak akan menyia-nyiakan hal ini untuk bergadang. Yah dia juga ingin pamer kepada Oji kalau dia juga bisa tidur lewat jam sebelas. Salahkan saja peraturan sialan yang dibuat oleh Ninanya itu.

-Tidur lewat jam 10 = botak

Jika orang lain hukumannya uang jajan dipotong. Neneknya berani beda:)

Hukumannya Hanan dibotakin sama Nina kesayangannya itu. Dan parahnya lagi Neneknya termasuk orang yang nekat. Ia tak mau ambil resiko rambut ala koreanya hilang dari tempatnya.

"Bang Kiming manja amat dah nikahan sampe ditemenin sama si nenek gaul," celetuk Rafka yang sukses buat tawa Bian meledak.

Iya, neneknya lagi nginep ke tetangganya yang bakal ngadain acara nikahan lusa. Entah kenapa dan ada apa, neneknya harus ada disana.

Bian kan jadi kesenengan dianya.

"Menurut lo, gue perlu nyari mereka ngga?"

Dahi Rafka mengerut  bingung, "kok malah nanya ke gue sih?"

"Ya kan gue butuh saran," ucap Abian sambil mngeratkan lilitan selimutnya. "Pendapat lo gimana Raf?"

Pemuda berdarah Tionghoa itu terdiam sesaat. Menimang-nimang apakah Bian akan merasa tersinggung atau tidak setelah ini.

"Lo perlu tau kabar mereka tapi ngga untuk hidup bareng sama mereka."

Bian mengernyit, "lah ko-"

"-inget lo masih punya nenek disini," Rafka memotong ucapan Bian, "rasanya ngga adil pas nenek udah ngebesarin lo dengan susah payah tapi giliran lo udah bisa jaga diri malah ninggalin dia."

Hujan deras dengan kilatan petir menjadi pelengkap kacaunya pikiran Abian. Sepanjang hidupnya ia baru kali ini berpikir sekeras ini.

"Ngga usah terlalu dipikirin," Rafka menepuk bahu sahabatnya. "Jalani aja. Kita ngga tau rencana Tuhan bakal kayak gimana kedepannya."

Bian mengangguk pelan diselingi senyum tipis. Rafka memang selalu meringankan sedikit beban otaknya.

"Nanti pap jawaban matematika yang kemaren ya?"

Satu Batas ¦ Haechan JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang