3 | it's okay to cry

4.8K 406 23
                                    

And the tears come streaming down your face

When you lose something you can't replace 

 When you love someone, but it goes to waste 

 Could it be worse?


Alexandra

What the hell is happening?!

What the hell was happening?!

Ada dua hal yang membuat pikiranku seperti kapal pecah saat ini. Pertama, suara Bella yang sesenggukan di ujung telepon sebelumnya. What's going on with her? Sepanjang mengenalnya, hanya dua kali aku pernah menemukan Bella menangis.

Pertama kali aku melihatnya menangis adalah ketika kami masih di bangku SMA. Hari itu menginjak dua bulan aku mengenalnya. Dia dengan semangat mengajakku untuk menginap di rumahnya. Namun, pemandangan yang menyambut kami jauh dari yang aku bayangkan. Kucing kesayangannya—yang selalu Bella ceritakan—tengah terkulai lemas tak berdaya di atas karpet kamarnya.

Aku dan Bella dilanda kepanikan seketika. Karena di rumah Bella tidak ada satu pun orang, aku dengan tergesa-gesa menelepon taksi agar bisa mengantar Nori—nama kucing Bella—ke veterinarian. Sepanjang perjalanan, Bella tidak bisa berhenti sesenggukan.

Kedua kalinya adalah ketika kakek Bella meninggal. That was heartbreaking moment even for me. Ekspresiku tidak jauh berbeda dengan Bella. Melihatnya mengingatkanku pada diri sendiri ketika harus kehilangan Kakek saat usiaku masih belia. I don't even want to remember it.

Jika ingatanku tidak mengkhianati, hanya dua peristiwa itu yang mampu membuat nangis di hadapanku. Ah, satu lagi ketika dia wisuda. Ketika itu memang aku masih harus menambah satu semester lagi untuk mengejar dan melengkapi ketertinggalanku akibat exchange satu tahun. Namun, itu termasuk tangis bahagia. Jadi, tidak termasuk. Aku tidak tahu apakah ada saat di mana ia menangis tanpa sepengetahuanku, bahkan ketika putus dengan pacar-pacarnya sebelum ini.

Masalah kedua yang membuatku pening—dan sepertinya mengambil porsi lebih besar—adalah kejadian yang tidak sampai tiga puluh menit lalu.

Kerasukan apa gue sampai mau duduk dan ngobrol?

"It's been a while, right?"

A while? Apakah delapan tahun termasuk ke hitungan 'a while'? More like ages.

Aku masih tidak habis pikir bagaimana santainya Rama. Well, it's Adirama we're talking about. Bertemu mantan setelah delapan tahun lamanya pasti bukan masalah baginya. Entah memang ia merasa biasa saja atau dengan pintar menutupi kegugupannya. Apa pun itu wajib kuberikan applause padanya.

Sikap yang ditampilkan Rama sangat berbanding terbalik denganku. Seperti yang sudah bisa ditebak, aku sangat kaku seperti kanebo kering selesai dijemur.

Sepanjang perjalanan ke Kebayoran Lama—yang memakan tiga puluh menit dari lokasiku sebelumnya—keningku terus berkerut. Akan tetapi, setelah kupikir-pikir, memang apa yang harus aku khawatirkan?

Kami hanya bertemu secara kebetulan. Bukan berarti setelah ini kami akan terus berpapasan, kan? Tidak ada pertukaran kontak. Jakarta juga sangat luas. Buktinya, bertahun-tahun tidak ada momen kami berselisih temu sebelumnya.

So what? It's not like I would do anything about it.

Sampai di apartemen Bella, aku langsung menuju elevator hingga lantai lima belas. Tanpa harus berbasa-basi memencet bel, aku langsung masuk unit Bella menggunakan access card yang kupunya.

not an option [completed]Where stories live. Discover now