Di akhir usia 31 tahun Sasmaya Kirana akhirnya pasrah. Mengikuti kemauan sang mama untuk melakukan blind date dengan salah satu kolega mamanya.
Katanya pilihan mama pasti cocok dan sesuai dirinya.
Usianya 32 tahun. Single. Manajer pemasaran sebuah perusahaan top brand yang menyuplai kebutuhan toko kue mama. Anak bungsu dari 3 bersaudara. Tampang oke. Dan tentunya calon mantu idaman. Buktinya di usianya 32 tahun sudah memiliki apartemen dan mobil sendiri. Itu versi mama.
Sasmaya mulai jenuh. Setiap hari mama selalu mendoktrinnya. Agar lekas menerima kencan perkenalannya dengan sang manajer.
"Kalau oke, Mama atur waktunya. Weekend ini kamu free, kan?" tanya mama.
Ia mendengus. Mungkin tawaran ini sudah yang ke-10 kali. Sejak 3 bulan lalu mama ingin mengenalkan koleganya tersebut.
"Ayolah, Sas. Kamu tinggal datang, duduk, ngobrol. Sesimpel itu, kan?!" Ranti-sang mama-menggeret kursi ikut duduk di meja mini bar. Menyeduh green tea beraroma seaweed.
Sementara ia menegakkan punggung. Mengaduk-aduk cangkir yang berisi cappuccino. Suara denting pertemuan sendok dan cangkir terhenti, "Oke." Begitu jawaban Sasmaya. Terdengar berat. Hanya karena tidak ingin mengecewakan mama. Pun, setelah ditimbang-timbang tidak ada salahnya dicoba.
Soal hasilnya ... ia mengangkat bahu. "Tapi gak janji," koreksinya menoleh pada Ranti. "Hasilnya akan sesuai harapan Mama."
Ranti terhenti menyeruput minuman tehnya. Tersenyum samar. Meski dalam hatinya berteriak, "Yes!" Meletakkan cangkirnya di atas cawan. "Mama percaya, perkenalan adalah pintu utama. Kan pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang. Makanya dari perkenalan itu rasa sayang bisa tumbuh. Jika nanti dari pertemuan pertama kalian cocok, kalian bisa melanjutkannya sendiri. Tapi jika tidak ... itu terserah kamu," imbuhnya riang sambil beranjak dari kursi. Berusaha menyembunyikan gurat kemenangan dari penampakan putri tunggalnya.
Wow. Sasmaya menggeleng. Ia sendiri sepertinya tak percaya akhirnya menyetujui permintaan mama. Ada rasa sedikit sesal menyelinap setelah mengiyakan tawaran mama.
Putri tunggal Ranti itu kembali menatap punggung sang mama yang berjalan ke dapur. Menyalakan kompor untuk membuat sarapan. Lantas ikut beranjak. "Ma, kayaknya Sas gak sempat sarapan." Melihat arloji di lengan kirinya. "Seperti biasa, dibawa ke kantor saja," tangkasnya. Lantas berlalu meninggalkan Ranti.
Ia menyerahkan helm berwarna hijau pada ojek yang dipesannya pada sebuah aplikasi setelah tiba di kantor. Menyapa beberapa rekan se-kantor yang berpapasan dengannya.
Menekan angka 4 menuju ruangannya.Bersamaan itu beberapa karyawan juga ikut masuk ke dalam kotak besi persegi panjang yang perlahan menutup pintu dan bergerak vertikal.
Lengang sejenak dalam ruangan sempit tersebut.Pintu membuka dan menutup pada tiap lantai. Hingga di lantai 4 sebagai tujuannya ia keluar. Berjalan gontai. Rasanya penghujung akhir pekan yang membuat hatinya dirundung mendung.
Gila. Baru kali ini ia akan melakukan blind date.
Dulu. Tepatnya 10 tahun yang lalu saat ia masih di bangku kuliah. Pertama mengenal cinta dan jatuh cinta pada seseorang teman se-kampusnya.Namun hubungan itu dipaksa kandas karena 'dia' memilih tinggal di Belanda bersama keluarganya yang menjadi ekspatriat di sana. Dan pada akhirnya hubungan itu harus kandas dalam 5 bulan. Dia memutuskan sebelah pihak karena mengaku tidak bisa melakukan hubungan jarak jauh dan menyakiti kedua belah pihak.
Tragis.
Rasa cintanya dipaksa pupus. Cinta yang besar itu membuatnya gagal move on. Hingga butuh waktu lama bertahun-tahun untuk menjalin hubungan lagi terhadap lawan jenis.
Dan baru 5 tahun kemudian, ia mencoba menjalin hubungan dengan lawan jenis lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blind Date
RomanceSasmaya akhirnya pasrah untuk menerima kencan buta kenalan sang mama. Akibat kegagalan demi kegagalan menjalin hubungan percintaannya serta konstruksi sosial yang mengikat pada seorang wanita lajang di lingkungannya. Sayangnya, 2 kenalan yang mama t...