21

18.1K 2.7K 236
                                    

Di sela-sela packing Mas Bram dan Mbak Karin.

***

"Gimana?" Sisil bertanya begitu mereka ketemu di sebuah coffee shop tengah kota. Sengaja mengambil duduk di sudut dekat jendela besar, keduanya menghabiskan waktu sambil bercengkrama. 

"Belum ada panggilan, gak lolos kayaknya." Kendra nyengir, menyandarkan punggung, menyesap americano dingin pesanannya. 

Sisil menepuk-nepuk bahunya, "Sabaaaaar." 

"Makanan kali ini bayarin ya, yang sudah kerja, aku kan masih pengangguran." 

Sisil terbahak, pertemuan hari ini, adalah perayaan atas diterimanya Sisil di sebuah kantor lembaga bantuan hukum, masih seputaran Malang, sesuai doanya. Membuat Kendra sedikit nelangsa, tak ada lagi kawan pengangguran yang bisa diajaknya runtang-runtung. 

"Coba kamu apply sekitaran jawa timur Ken, perusahaan besar itu saingannya besar, ibaratnya, kamu kayak berenang di lautan lepas, ya ketemu hiu, ketemu paus, ketemu lumba-lumba, sementara kamu cuma secuil ikan teri." 

Analogi yang tepat sih.

"Coba persempit, cari kolam yang pas aja, kantor notaris, LBH, skala lokal, kemungkinan terbesarnya pasti keterima, ya gak papalaaah, gaji standart, buat nambah pengalaman, sambil sekolah spesialis, nanti lima tahun lagi, coba apply lagi ke perusahaan besar, kan udah ada pengalaman. Kalau belum ada pengalaman sama sekali, yaaaa mereka gak bakal lirik, gak mau gambling lah, emang lu capa?" 

Kendra mendesah. Omongan Sisil, semuanya benar. 

"Lagian kalau beneran keterima, kamu jauh lho dari Mas Erwin. Kudu terbang dulu melintasi awan, menyeberang pulau,  melintasi hutan-hutan. Emang sanggup?" Sisil menggoda dengan menaik turunkan kedua alisnya. Seolah lupa, jaman sekarang, jarak bukanlah hambatan karena kecanggihan teknologi. Apalagi sekelas Erwin, mudah baginya mengeluarkan kocek hanya untuk terbang menemuinya. 

Masalahnya, dia siapa? sampai Erwin rela korban duit dan waktu. Menyadari fakta itu, Kendra tersenyum kecut, membuat sahabatnya makin antusias membully. 

"Masih gak ada kabar, dia?" 

"Gak."

Sisil cekikikan,  "kasihan amat di ghosting." 

"Asem!" 

Kembali gadis di depannya cekikikan. Sohib gak ada akhlak. 

"Kamu pernah merasa gak sih, pria-pria dewasa seperti Mas Erwin sukanya main tarik ulur."

"Entahlah." 

"Padahal, aku sempat berpikir sikap dia ke kamu, karena ada perasaan yang sama, dikenalin juga ke Mediterach kalau kamu calon nyonya Bos kan?" 

"Ah, itu mah iseng aja dia, gak tahu, aku juga kenapa ikutan iseng." 

Sisil cekikikan. "Kamu gak pengen, tanya ke dia, maksud dari sikapnya apa?" 

"Pengen, jujur waktu dia gandeng tanganku keluar kantor, rasanya udah kayak bakul kembang, hepi banget, aku bimbang mau tanya maksud dia apa, tapi urung, takut merusak momen. Cemen  banget ya?" 

"Banget, harusnya kamu itu tanya ke dia, yang teges, biar perasaanmu gak terombang-ambing kayak gini." 

"Masalahnya, aku juga baru putus dari sepupunya, pake alasan pengen karir dulu, pula, kalau tiba-tiba ngaku suka sama dia, ya kesannya gimana yaaaa, malu lah." 

Sisil terbahak, "sik duwe isin tibakne." (masih punya malu rupanya.)

"Duwelah.." (Punyalah)

Bittersweet [Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang