Chapter 3 || Sebuah Rencana

3.4K 497 291
                                    




Ahrin sering berpikir, dimana ia meninggalkan otaknya sampai-sampai bisa melupakan Id Card yang seharusnya ia gantungkan di antara leher agar tidak lari kemana-mana. Hingga beberapa kasus menyebalkan yang kerap terjadi berulang kali nyaris dua kali dalam satu bulan, gadis itu harus mengarungi bus kota yang sesak di pagi hari untuk kembali menuju flat sembari membenturkan kepala pada jendela kaca merutuki kebodohannya sendiri. Lalu setelah itu Ahrin akan menelepon bala bantuan untuk menjemput dan Jungkook dengan senang hati akan mengemudikan mobil seperti roket demi imbalan dua potong roti dan segelas kopi.

"Gantungkan di sini." Menyambar Id card dalam genggaman Ahrin, sebelum meloloskan tali melewati kepala si gadis hati-hati. Kemudian telunjuk Jungkook mengarah pada tas yang tersampir di antara bahu Ahrin hingga suara tenornya menyedot perhatian beberapa orang yang berlalu lalang melewati lobi. "Lalu simpan di dalam tas kerjamu selepas jam kerja berakhir kalau tidak mau aku mentato keningmu dengan tulisan Id card supaya kau selalu ingat saat bercermin."

Berdecak kesal. "Berisik." Ahrin berlalu begitu saja meninggalkan Jungkook yang segera mengekor seperti anak domba di padang rumput yang takut kehilangan sang ibu. "Tidak sopan menunjuk-nunjuk orang yang sudah memberimu sarapan gratis secara cuma-cuma, tahu."

"Pertama, sarapan darimu tidak cuma-cuma. Aku memutar jauh berlawanan arah demi menjemputmu dan yang kedua aku tidak menunjuk wajahmu, tapi aku menunjuk tas di bahumu."

Tak ada seorangpun yang dapat menyadari gurat merah samar di permukaan pipi gadis itu. Ahrin bersemu. Jantungnya berdebar kala jarak dipangkas hingga wajah mereka nyaris bertubrukan ketika Jungkook memasangkan Id card di antara lehernya. Menguarkan segarnya aroma mint yang menyapa dari deru napas menyapu wajah. Ugh, menyebalkan. Ahrin harus melarikan diri dalam situasi ini secepat mungkin sebelum Jungkook menyadari itu.

"Hai, Stephanie. Hai, Angel. Oh, Hallo Yoona, kau cantik dengan baju warna kuning."

Tidak. Tidak. Debaran dalam dada bukan berarti Ahrin menyimpan rasa yang tertanam untuk orang genit di sana. Mana mungkin ia menyukai Jungkook si pria yang mengingat nama hampir setengah dari pegawai wanita? lihat saja kelakuan ajaibnya. Setiap pagi Jungkook selalu menyapa kelewat sumringah setiap gadis yang ia temui di sepanjang kantor menuju ruangan mereka. Menggelikan. Sungguh bukan tipenya.

Lalu debar ini untuk apa?

"Oi ... Cho Jimin!"

Suara Jungkook terdengar lantang di belakang sana disusul oleh derap kaki yang dipacu setengah berlari, menyeret tangan Ahrin ikut serta untuk mengejar Jimin yang hampir tenggelam di balik pintu elevator.

"Lihat apa, sih? Sampai-sampai kau tersenyum sepanjang jalan seperti orang gila." Jungkook menyikut lengan Jimin seraya mengintip lembaran foto dalam genggamannya dengan rasa penasaran yang kian menggebu, terlebih Jimin sengaja enggan memperlihatkan foto tersebut hanya karena berniat mengusili lelaki itu.

"Jangan lihat. Gadis ini cantik sekali, nanti kau jatuh cinta. Bisa bahaya."

"Mana sini aku lihat dulu, biar aku yang tentukan benar cantik atau tidak. Sekedar informasi, mataku lebih berkualitas dari pada mata iritmu."

Ahrin hanya bisa memutar bola mata jengah melihat berdebatan konyol mereka sepanjang elevator melaju cepat menuju lantai lima. Hingga dentingan tersebut berhenti, decit pintu terbuka sementara drama perebutan foto antara Jungkook dan Jimin belum juga usai, bahkan sampai ketiganya menjejak lantai koridor Jungkook masih menggenggam telapak tangan si gadis erat-erat.

"Minggir." Kejadian itu berlangsung cepat. Bagaimana Taehyung mendadak datang dari belakang memutus tautan tangan Jungkook dan Ahrin sampai-sampai tubuh besar Jungkook terhuyung menyenggol Jimin. Ahrin tidak menyangka, tubuh sekecil itu dapat menyamai tubrukan banteng marah yang menghantam matador.

SURROGACYWhere stories live. Discover now