7. Me, Myself and ZEN

951 42 0
                                    


"Ayah bisa mengatakan apapun tapi dengar ini baik-baik! Aku akan mengambil alih perusahaan itu bagaimanapun caranya."

"Zen!"

Tawa sinis menggelegar di ruangan kerja milik Zhang Yuxuan tersebut. Sang tuan muda alias pewaris tahta keluarga Zhang.

Pria paruh baya berstatus ayah kandung Zen menghela nafas lelah. Ia tak bisa lagi membuat keluarganya akur seperti dahulu akibat kesalahannya.

Kini tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk menghentikan putra bungsunya itu merebut salah satu perusahaan mantan sahabatnya.

Zen telah dibutakan oleh dendamnya. Dan tak ada yang mampu menghentikan pria itu lagi.

Brakk.

Dengan amarah, Zen keluar dari sana. Zen menyambar kunci mobil yang sebelumnya ditahan para pengawal dengan paksa.

Ketika para pengawal itu ingin menghentikannya, Zen tanpa pikir panjang memukuli mereka secara membabi buta.

"Menyingkir, sialan!" bentaknya.

Mobil yang dikemudikan Zen secepat kilat melaju meninggalkan mansion mewah itu.

Matanya memerah. Zen menyugar kasar rambutnya. Ia terus menambah laju mobilnya ditengah keheningan malam.

Dia merindukan keluarganya yang dulu.

Lamborghini itu berhenti didepan sebuah club malam paling terkenal di kota sana. Zen melangkahkan kakinya ke dalam. Menuju sebuah kursi kosong di meja bar. Tanpa peduli memesan sebotol alkohol lalu menenggaknya hingga tersisa setengah.

Kilasan memori masa lalu terus mengisi pikirannya saat ini. Satu botol kembali diserahkan ke depan pria itu.

Zen kembali menggila. Hanya ini cara yang bisa ia lakukan untuk menenangkan dirinya. Melupakan sejenak masalah yang terjadi setiap hari dalam keluarganya. Sebuah kehancuran yang teramat menimbulkan kebencian di hatinya.

"Kau gila."

Suara seorang gadis membuatnya tersentak dari lamunan. Zen menoleh, menemukan Chicago yang tengah menatapnya santai.

Chicago menghembuskan asap rokok yang dihisapnya didekat wajah Zen. Bukannya marah, pria itu justru tertawa.

Zen menyandarkan punggungnya ke sisi meja. Matanya terus memperhatikan Chicago. Penampilan gadis itu diluar kampus benar-benar berbeda.

"Aku memang gila sejak hal itu terjadi, Chi. Ah, tak ada yang bisa mengerti kebencianku padanya. Dia merenggut satu-satunya kebahagiaanku." ucap Zen dengan tatapan ke lantai.

"Dendam bisa membuat siapapun gila." gumam Chicago.

Ekspresi gadis itu sempat berubah datar beberapa detik namun sejurus kemudian ia kembali tersenyum tipis.

"Kau hanya sendiri?" Chicago mengangguk.

Zen tak melepaskan tatapannya dari segala gerak-gerik gadis yang terkenal pendiam dan tertutup di kampusnya ini.

Termasuk ketika Chicago menenggak segelas wine. Entah mengapa Zen merasa ada sesuatu yang membuat Chicago berbeda.

Dia menghadirkan sensasi aneh dalam perasaan pria itu.

Chicago balas menatapnya, "Kau tertarik denganku, sepertinya." ucapnya lalu terkekeh pelan.

Sesaat, Zen terdiam namun sejurus setelahnya ia ikut terkekeh. "Yah, bisa dibilang begitu. Kau menarik dengan dirimu yang seperti ini."

"Secara tidak langsung kau mengatakan Chicago yang di kampus sangat membosankan." canda Chicago.

Mereka tertawa bersama. Lalu bersulang atas segala masalah mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari.

Chicago menyodorkan sebatang rokok pada Zen yang langsung dinyalakan oleh pria itu.

Diam-diam, Zen mendadak merindukan sosok adiknya. Memang secara fisik tentu tak memiliki kemiripan dengan Chicago. Tetapi segala gerak-gerik dan sifat gadis ini sangat mengingatkannya dengan adik kesayangannya.

Perlahan Chicago merasa matanya mulai mengantuk. Ia menelungkupkan kepalanya diantara lipatan lengan. Pandangannya terarah pada Zen yang tengah melamun.

"Kau memiliki masalah?" tanya Chicago seraya menguap lucu.

Zen menghela nafas lelah. Pikirannya kembali mengingat pertengkaran yang selalu terjadi antara dia dan keluarganya saat ini.

"Semua orang pasti memiliki masalah, Chi. Tak terkecuali denganku. Tapi diantara semua masalah itu...hanya satu yang menggangguku."

"Aku merindukan ibu. Aku merindukan adikku. Aku merindukan segala kebahagiaan dalam keluarga ku dulu."

"Sayangnya itu hanya masa lalu. Masa yang tak mampu kubeli meski sebanyak apapun uangku untuk kembali kesana. Hidupku bahagia dengan harta, namun jauh dalam hati...aku merasa hampa." tutur Zen.

Tatapannya berubah sendu. Mata pria itu sempat berkaca-kaca ketika kata rindu terucap dari bibirnya.

Setelah perasaan sesak dalam benaknya mulai reda, Zen menoleh ke Chicago yang ternyata sudah tertidur pulas.

Zen tersenyum lebar. Ia terkekeh lalu menggendong tubuh gadis itu menuju mobilnya. Dia tidak tau apakah Chicago datang dengan taksi atau berkendara sendiri.

Lagipula pemilik club ini adalah temannya.

Zen sesekali melirik Chicago yang terlelap. Wajah tenang gadis itu membuatnya ikut merasa damai. Tangan Zen yang bebas dari kemudi mengusap lembut rambutnya.

Huftt...dia memutuskan membawa Chicago ke apartemen pribadinya saja. Dia juga tak mengetahui tempat tinggal gadis ini karena baru saja mengenalnya.

Pria itu merebahkan Chicago di salah satu kamar kosong disana. Seulas senyum muncul di bibirnya. Setelahnya Zen memberikan kecupan di kening Chicago.

Aku merindukanmu, Yuxi. Batinnya tersenyum sedih.

ACATHEXIS Where stories live. Discover now