49~ Ezra yang Tertolak

10.9K 579 22
                                    

Sesuai dengan janji yang telah dibuat, Ezra akan berkunjung ke rumah Aqila untuk mengerjakan tugas kelompok dari pak Bayu. Dia sudah tiba di alamat yang diberikan Aqila padanya.

"Benar ini rumahnya?" Monolog Ezra saat sampai di depan rumah Aqila. Dia menatap takjub rumah dengan warna dominan cokelat dan abu-abu itu.

"Kalau dari alamatnya, udah benar sih," monolognya. Beberapa menit kemudian, dia memarkirkan motornya lalu berjalan menuju pintu utama dan menekan bel.

Ting tong!

"Assalamualaikum," ucap Ezra memberi salam.

Ting tong!

"Assalamualaikum." Ulangnya sekali lagi.

"Waalaikumsalam," terdengar sahutan dari dalam rumah.

Cklek!

Pintu rumah itu terbuka dan menampilkan seorang gadis cantik dengan pakaian santainya dan tentunya jilbab instan yang menghiasi kepalanya.

"Eh Ezra. Ayo masuk," ajaknya sembari tersenyum ramah.

Ezra pun mengangguk, dan mengikuti langkah Aqila ke dalam.

"Duduk di sini, gue buatin minum sebentar."

Ezra mengangguk kemudian duduk. "Makasih," ucapnya.

Aqila melangkahkan kakinya menuju dapur untuk membuatkan minuman. Beberapa menit kemudian, dia datang dengan nampan berisi minuman dan beberapa stoples makanan ringan.

"Maaf ya, cuma ada ini," ujar Aqila sambil meletakkan barang-barang yang dibawanya ke atas meja.

"Bilangnya cuman ada ini, tapi kok banyak banget bawanya?" Tanya Ezra. Hanya bercanda.

Aqila tersenyum. "Basa-basi aja. Tunggu sebentar ya, gue mau ambil laptop dulu ke atas sekalian sama bukunya."

"Gue kemarin beli buku di gramedia, kayaknya sih bener. Semoga bisa bermanfaat buat tugas kita," tambah Ezra yang diangguki Aqila.

Aqila berjalan menapaki anak tangga menuju kamarnya. Dia melihat Alvin yang sedang berkutat dengan laptop dengan beberapa dokumen di sekitarnya. Sepertinya Alvin sedang bekerja.

"Bapak mau saya buatin sesuatu?"

"Boleh. Tolong buatkan saya kopi, ya. Terima kasih," Alvin tersenyum hangat.

Aqila mengangguk. Dia akan ke dapur untuk membuatkan suaminya secangkir kopi.

"Bentar ya Zra," ucapnya saat menuruni anak tangga dan melihat ke arah ruang tamu.

"Yoi santai aja," sahut Ezra. Dia kembali memainkan ponselnya.

Aqila keluar dari dapur dengan membawa nampan berisi secangkir kopi dan mulai menaiki tangga menuju kamarnya.

'Itu kopi? Buat siapa?' batin Ezra ketika melihat nampan berisi secangkir kopi yang sepertinya masih panas.

"Ini pak kopinya," ucap Aqila sembari meletakkan secangkir kopi itu di meja kerja Alvin.

"Makasih, sayang." Ucap Alvin. Dia mencium singkat pipi Aqila.

Aqila melotot kaget, "kebiasaan deh suka cium-cium sembarangan,"

Mendengar itu, Alvin terkekeh dan tersenyum singkat. "Sama istri sendiri boleh dong,"

"Iya iya terserah bapak aja deh. Pak saya ke bawah dulu ya? Ezra udah nungguin soalnya."

"Iya. Semangat mengerjakan tugasnya, sayang."

Aqila mengangguk pelan lalu kembali turun ke ruang tamu dengan membawa laptop dan beberapa buku beserta alat tulis lainnya.

Aqila mendudukkan dirinya tak jauh dari Ezra. "Biar cepet, kita bagi tugasnya aja gimana?" Tanya Aqila sembari menghidupkan laptopnya.

"Boleh." Jawab Ezra setuju.

Mereka berdua mulai mengerjakan tugasnya. Aqila yang membuat slide show power point, sedangkan Ezra yang menulis ulang di bukunya.

Sering kali, Ezra mencoba menatap mata Aqila, tetapi Aqila langsung memutuskannya karena merasa tidak nyaman.

"Diminum, Zra," ucap Aqila tanpa mengalihkan fokusnya pada monitor laptop di hadapannya.

"Oke." Dengan perlahan, Ezra mulai menuangkan jus jeruk itu ke dalam gelas lalu meminumnya.

Karena terlalu fokus dengan tugas, mereka berdua tidak menyadari jika Alvin sedang berdiri di atas sana, mengamati mereka.

"Lo tinggal sendiri di sini?" Tanya Ezra mulai membuka pembicaraan.

"Enggak," sahut Aqila singkat. Dia membuka stoples biskuit cokelat dan memakannya.

"Kok sepi?" Ezra menoleh ke kanan dan kiri.

"Bapak lagi di atas,"

'Bapak? Oh berarti bener dong kalau Aqila itu anak orang kaya. Tapi gue salut sama dia. Meskipun anak orang kaya, tapi dia gak pernah sombong, benar-benar sempurna.' begitu batin Ezra.

"Aqila," panggil Ezra. Dia menatap lekat Aqila dari samping.

"Hmm?" Jawab Aqila yang masih fokus mengetik pada laptopnya.

"Gue mau ngomong sesuatu." Nada bicara Ezra mulai berubah menjadi lebih serius.

Suara keduanya cukup terdengar jelas oleh Alvin yang sedang berdiri di ujung tangga. Alvin menaikkan sebelah alisnya. "Bocah itu mau ngapain?"

"Apa?" Tanya Aqila dengan pandangan mata yang masih tertuju pada laptop berlogo apel tergigit itu.

'gue harus mulai dari mana anjir?!' Ezra mulai gelisah di tempatnya. Bingung harus berkata apa.

"A-anu. Jusnya enak." Jawab Ezra asal membuat Aqila menatapnya aneh.

"Lo aneh tau gak. Enaknya jus jeruk tuh kayak apa sih Zra?" Aqila tertawa renyah karena pernyataan bodoh yang keluar dari mulut Ezra.

Sedangkan Ezra hanya menyengir kuda merutuki kebodohannya. 'serius, Zra! serius! ini kesempatan terbaik untuk mengungkapkan perasaan lo ke dia!'

Tangan Ezra tergerak menyentuh lengan Aqila yang tertutup oleh baju panjangnya. Sontak, hal itu membuat Alvin membulatkan matanya dengan sempurna seakan ingin menelan bocah itu hidup-hidup.

Aqila menatap Ezra terheran. "Kenapa?" Tanya Aqila saat menghentikan kegiatannya. Dia menyingkirkan tangan Ezra darinya karena merasa tidak nyaman.

"Lo masih inget, waktu hari terakhir ospek, lo lari-lari nyari barisan?"

"Iya. Terus?" Aqila mengangguk kecil lalu diam, menunggu ucapan Ezra selanjutnya.

"Dari situ gue mulai tertarik sama lo dan mulai suka sama lo. Butuh waktu lama untuk sadar tentang perasaan gue. Dan sampai kemarin, gue tetap diam, mencoba menutupi perasaan gue ke lo.”

Aqila menatap Ezra dengan tatapan aneh.

"Tapi sekarang gue sadar, gue beneran suka sama lo. Lo mau jadi pacar gue?"

Aqila mengernyitkan keningnya dan menatap aneh Ezra yang baru saja mengungkapkan perasaannya. "Jangan bercanda, Zra. Ini nggak lucu,"

"Apa muka gue kelihatan bercanda?" Tanya Ezra meyakinkan.

"E-enggak." Aqila semakin tidak nyaman dengan situasinya saat ini.

"Jadi? Lo mau kan jadi pacar gue?"

Mendengar pernyataan gila dari mulut bocah itu, perlahan Alvin menuruni anak tangga menghampiri mereka. "Apa kamu ingin menjadikan istri orang lain sebagai pacar?" Tanya Alvin dengan wajah datarnya.

"P-pak Alvin?? K-kok bapak ada di sini?" Ezra menatap Alvin yang baru saja menghampiri mereka.

'bodoh,' batin Alvin.

"Ya. Ini rumah saya," jawab Alvin singkat, padat dan jelas.

"Hah?" Ezra menatap Aqila dan Alvin bergantian.

"Aqila, ini maksudnya?" Tanya Ezra dengan suara yang pelan.

"Kenalin, pak Alvin," ucap Aqila sembari melihat ke arah Alvin.

"Gue tau. Kok bapak bisa ada di sini?" Ezra semakin dibuat bingung dengan kehadiran pak Alvin di rumah ini.

"Bukankah saya sudah mengatakannya? Ini rumah saya." Sahut Alvin, mempertegas ucapannya.

"Lo anaknya pak Alvin? Yang lo maksud bapak tadi itu pak Alvin?" Ucap Ezra dengan wajah bingungnya.

"Jangan ngaco. Mana ada gue yang segede ini, punya bapak yang selisih umurnya cuma 6 tahun."

"Saya suaminya," Sahut Alvin.

Deg!

"I-ini kalian pasti berbohong." Ezra menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Perlu bukti?" Tanya Alvin.
Ezra yang belum percaya itu pun mengangguk.

Alvin mengangkat tangan kiri Aqila dan menyatukannya dengan tangan kirinya di hadapan Ezra. Terlihat sepasang cincin pernikahan bertengger manis di sana.

"Gue udah nikah. Gue menghargai perasaan lo, Zra. Tapi maaf, gue nggak bisa membalas itu. Gue udah punya suami," ucap Aqila dengan senyumannya. Dia merasa tak enak hati dengan Ezra karena menolaknya mentah-mentah.

"Nggak papa. Selamat buat kalian berdua." Dengan susah payah, Ezra memaksakan senyumnya.

"Makasih."

"Apa tugas kalian sudah selesai?" Tanya Alvin pada keduanya.

"Sudah."

"Baik, karena tugas kamu sudah selesai, kamu boleh pulang sekarang," titah Alvin pada Ezra.
Ezra mengangguk sekilas. Dia mulai mengemasi barang-barangnya.

"Saya permisi, pak. Aqila, gue pulang. Makasih ya buat jusnya."

Aqila mengangguk pelan, menatap nanar Ezra yang bergerak gusar membereskan barang-barangnya.

Tanpa sengaja, mata Ezra menangkap tangan Alvin yang memeluk pinggang Aqila posesif. Demi apa pun, hatinya terasa perih.

'Berhenti berharap sesuatu yang tidak mungkin terjadi, Zra. Lo pasti bisa!' batinnya menyemangati dirinya sendiri. Ezra kembali pulang ke rumahnya setelah selesai mengerjakan tugas, dan setelah mengetahui status pernikahan Aqila.


Ƹ̵̡⁠Ӝ̵̨̄⁠Ʒ

My Lecturer My Husband [LENGKAP, PROSES REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang