21. Saat itu, Tahun 2016

1.9K 207 12
                                    

Vero berlari kecil dari kamarnya setelah mendengar suara ketukan pintu. Ini hari rabu, seluruh adiknya sudah kembali beraktivitas setelah mengambil jeda 2 hari karena berkabung atas kepergian Arkana. Masih kentara betapa pedihnya nama kehilangan yang tertera di hati mereka. Tak satupun dari Nawasena pernah mengikhlaskan kepergian Arkana. Namun, sekeras dan sebanyak apapun mereka meminta Arka kembali, tak satupun doa mereka tuhan kehendaki.

"Siapa Bang?" Tanya Rezvan tepat sebelum Vero membuka pintu dan membuat kakaknya itu terlonjak, lupa bahwa adik pertamanya ada di rumah. Rezvan masih membereskan beberapa dokumen kepindahannya ke Jakarta.

"Gak tau, gue cek dulu," jawabnya sambil berlalu. Rezvan dengan segelas susu dan satu keping cookies yang baru saja diambilnya, pelan-pelan melangkah mengikuti Vero.

"Selamat siang, Mas? Apa betul ini rumah Arkana?" Seorang ibu paruh baya muncul dari balik pintu, bertanya perihal satu nama yang ketika disebutkan masih mampu membuka luka keluarga Nawasena. Rezvan yang berada tak jauh dari sana, ikut merasakan hal yang sama.

"Betul Ibu, ada apa, ya?" Jawab Vero dengan sopan. Namun sang ibu tak menjawab.

"Masuk dulu, Bu," tawar Vero, membiarkan sang ibu mengambil tempat di salah satu kursi ruang tamu. Rezvan yang menyaksikan itu, buru-buru kembali ke dapur, menyiapkan segelas air dan beberapa makanan untuk disajikan. Lalu membawanya ke ruang tamu. Dan ikut dalam temu.

"Maaf sebelumnya, saya tiba-tiba datang. Mas berdua ini kakaknya Arkana?" Tanyanya ramah, membuat Vero dan Rezvan mengangguk.

"Perkenalkan Mas, saya guru SDnya Gaffi dan Arkana. Nama saya Bu Ratih." Jelasnya, membuat Vero dan Rezvan mengangguk. Meraka tak terlalu mengenal guru SD dari Gaffi maupun Arka, karena kedua bungsu itu disekolahkan di tempat yang berbda dari kelima kakaknya.

"Saya Vero, dan ini Rezvan."

"Arkananya ada, Mas? Atau lagi sekolah mungkin ya?" Vero meneguk salivanya susah payah, sedang di sampingnya Rezvan berusaha menahan tangisnya. Akan terus ada luka yang terbuka ketika satu nama diucapkan dengan begitu lantang. Membuat mereka mati-matian menahan air mata.

"Maaf Bu, Arkana sudah tiada. Ia dimakamkan hari minggu lalu." Vero enggan menjawab, namun tak sopankan jika pertanyaan seseorang tak ia jawab?

"Jadi kabar itu benar, Mas?" Vero dan Rezvan sama-sama melihat dengan jelas, air mata sang ibu jatuh tanpa permisi, raut wajahnya jelas menyiratkan kepedihan.

"Jika Ibu mendengar kabar bahwa Arkana meninggal dalam kecelakaan, itu benar, Bu," Jawab Vero sambil memberikan beberapa lembar tisu pada bu Ratih.

"Maaf Mas," ucap bu Ratih, membuat Vero sekaligus Rezvan menghela nafasnya, membiarkan sang ibu larut dalam sedihnya, sebab mereka paham bagaimana rasanya ditinggalkan. Namun keduanya tak tau jelas apa maksud kedatangan salah satu guru SD adiknya itu kemari, Vero dan Rezvan membiarkannya menyelam dalam kesedihan dan menunggu hingga sang ibu berani untuk kembali ke permukaan.

"Aduh Mas, maaf ya saya malah ikut nangis disini," ucapnya setelah ia bisa mengendalikan dirinya.

"Tidak apa-apa Bu," jawab Rezvan.

"Diminum dulu Bu airnya," titah Vero dengan sopan, bu Ratih menurut. Membiarkan dirinya lebih baik lagi.

"Mas, kedatangan saya kesini. Saya hanya ingin memastikan, apakah kabar itu benar atau tidak. Namun, lidah saya terasa kelu ketika mendapati pintu rumah ini terbuka. Saya tak bisa sekadar menanyakan kabar Arkana, hingga ketika saya memberanikan diri, ternyata kabar itu benar adanya, dan saya tak bisa menahan diri. Saya mohon maaf, Mas." Vero menggeleng, "Tidak apa-apa Bu, saya paham," jawabnya.

"Kalau boleh tau, kenapa Ibu sampai mencari Arka ke sini?" Tanya Rezvan, sebab masih tak tau maksud dari tujuannya dia kesini.

"Saya merasa bersalah pada Arkana, Mas."

Renjana [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang