Saya Menantikannya

181 25 0
                                    

"Ibu!"

Vania mengulas senyum tipis, berusaha tegar ketika menangkap Sania yang menghambur ke dalam pelukannya.

"Nia sudah mandi dong." Pamer bocah perempuan itu dengan bangga, "Terus enggak rewel juga, hari ini Nia bisa ngabisin semua sayur wortel yang Om Bram masak."

Vania melirik Bram yang terkekeh mendengar antusiasme Sania dalam bercerita.

"Kamu seharusnya enggak perlu repot, Bram. Aku sudah minta Mbok Surti untuk bawakan Sania lauk dari rumah makannya."

"Enggak repot, Vania. Lagi pula, hari ini Mbok Surti enggak jualan. Beliau pulang kampung karena menantunya tiba-tiba saja harus melahirkan hari ini." Bram mengerutkan alis, heran dengan ketidaktahuan Vania akan berita tersebut, "Mbok Surti bilang, sudah memberi kabar kepada kamu."

Vania merogoh tasnya dengan susah payah, perempuan itu kemudian mendesah. Ada lima pesan dari Mbok Surti yang memberinya kabar tentang kealpaan perempuan itu untuk hari ini dan satu minggu ke depan.

"Besok Ibu buatkan menu untuk sarapan sekaligus makan siang ya?"

Sania menggeleng, "Nia enggak suka kalau nasi dan lauknya enggak hangat, Bu."

Vania mendesah, Sania memang cenderung pemilih. Putrinya tidak suka makanan dingin, karena itu Vania berlangganan makan siang di salah satu warung nasi milik tetangganya untuk putrinya ketika ia sedang bekerja.

"Nasi dingin itu enggak enak, Bu." Sania kembali merengek.

"Iya, iya. Sudah jangan nangis, biar besok Ibu pesankan makan siang dari tempat yang lain, ya?"

Sania mengangguk, "Terima kasih, Ibu."

Vania tersenyum ketika Sania mendekatkan wajah untuk mengecup pipinya.

"Kalau begitu, boleh Nia yang pilih tempatnya?"

"Nia yang pilih?" tanya Vania sembari berjalan memasuki rumahnya, "Memang Nia tahu, tempat makan siang yang lain selain warung Mbok Surti?"

Bram yang mengikuti keluarga kecil itu meringis, lelaki itu sudah bisa menebak apa yang akan di minta oleh Sania kepada Ibunya.

"Ekhm, Nia. Gimana kalau untuk makan siang besok, biar Ibu saja yang pilih menunya?" Bram berusaha mengalihkan, lelaki itu belum siap untuk membuat pengakuan dosa kepada Vania yang sekarang sedang menatapnya dengan mata memicing penuh curiga.

"Memang Nia mau makan siang apa untuk besok?"

Bram mendesah, pasrah pada raut antusiasme Sania ketika Vania bertanya.

"Nia mau burger, Ibu. boleh ya?"

Mata Vania langsung mendelik, ia belum pernah mengenalkan makanan cepat saji tersebut kepada Sania. Sayangnya Sania yang polos, tidak bisa melihat reaksi terkejut Ibunya dan terus saja bercerita.

"Tadi Nia nemenin Om Bram keliling, lihat pabriknya sebentar. Terus sekretarisnya Om Bram, beli makan siang. Namanya burger. Nia dikasih coba, rasanya enak loh, Bu." Sania menggoyangkan lengan Vania dengan tidak sabaran. "Boleh ya Bu, Nia mau makan siang burger besok."

Vania menghela napas, diusapnya wajah putrinya yang sangat cantik.

"Burgernya cuma boleh untuk selingan sore, itu juga harus bagi dua sama Ibu."

"Yah, Ibu...."

Vania menggeleng, enggan kalah dengan rajukan putrinya.

"Untuk makan siang besok, Ibu akan pesan ayam goreng lengkuas sama sayur bakso."

Sania tidak menjawab, anak itu merajuk.

"Kalau besok Nia enggak habiskan makan siangnya, enggak akan ada burger untuk selingan sore." Ultimatum perempuan itu dengan tegas. "Paham?"

"Iya, Ibu."

Bram menghela napas, iba dengan raut sendu Sania yang sekarang sibuk menundukkan kepala.

"Kalau begitu, burger untuk Nia besok akan Om Bram belikan yang paling enak dan paling besar." Seru Bram sembari meraih Sania dalam gendongannya, "Triple beef dengan extra keju, gimana?"

"Boleh Om?" tanya Sania dengan penuh harap.

"Boleh dong, asal makan siang besok dihabiskan dulu. Terus setelah makan malam, Nia enggak merajuk kalau Ibu minta habiskan makanan penutup."

Sania menganggukkan kepala dengan cepat, anak itu jelas merasa tidak sabaran dengan menu makanannya besok.

"Iya, Nia janji." Pekik Sania riang, "Terima Kasih, Om Bram."

"Sama-sama, cantik. Sama-sama."

Vania menggelengkan kepala, membiarkan Sania kembali menjerit karena digoda Bram yang jahil.

"Ibu siapkan makan malam dulu." Pamit Vania yang tentu saja tidak disahuti oleh Bram dan Sania yang sudah sibuk berguling di atas karpet ruang keluarga.

***

"Ibu...."

Panggilan lirih dari Sania membuat Vania menaikkan alis, putrinya itu kelihatan ragu-ragu.

"Ada apa?"

Sania masih kelihatan ragu bocah berusia lima tahun itu sibuk memilin ujung selimutnya dibandingkan menatap wajah Vania yang keheranan.

"Sania..., Ada apa, nak?" Vania mulai resah, khawatir putrinya mengalami hal tidak mengenakan selama ia tinggal bekerja, "Om Bram, berbuat jahil yang kelewatan?"

Tuduhan itu bukan tanpa alasan, Bram sendiri yang mengajukan diri untuk menjaga Sania begitu tahu jika Vania sering menitipkan putrinya di tempat penitipan anak ketika perempuan itu bekerja.

"Nia...." Vania mulai panik sekarang, "Jangan takut, bilang sama Ibu. Ada apa?"

"Eng, Ibu...."

Vania bisa merasakan jantungnya berdebar kencang ketika menunggu Sania bercerita.

"Ibu, Om Bram itu..., Ayahnya Nia?"

Vania merasa napasnya tercekat, terkejut dengan pertanyaan putrinya yang aman sangat tidak ia sangka.

"Tadi waktu Nia nemenin Om Bram keliling di Pabrik, ada yang bilang begini," Sania berdehem, menurunkan suaranya hingga menyerupai suara cempreng perempuan dewasa, "Ya ampun, anaknya cantik sekali. Enggak heran, Ayahnya saja segagah ini."

Sania kembali menatap Vania begitu kalimatnya selesai.

"Nia ini anaknya om Bram, Bu? Tapi kenapa Nia manggilnya Om Bram, bukan Ayah.?"

Vania kehabisan kata-kata, perempuan itu sama sekali tidak bisa bersuara sedangkan Sania tidak bisa berhenti bertanya.

"Sisil manggil Ayahnya, Ayah. Kenapa Nia manggilnya harus Om?"

"Sania...." Vania buru-buru menyela, tidak ingin putrinya berpikir lebih jauh tentang Bram, "Nia manggil Om Bram dengan sebutan Om, karena Om Bram memang bukan Ayahnya Nia...," Vania menjelaskan dengan hati-hati, "Orang-orang mungkin salah paham, karena Om Bram kelihatan sayang sekali dengan Nia."

Penjelasan Vania membuat Sania langsung terdiam, tapi sebagai Ibu, Vania jelas tahu jika masih memikirkan sesuatu. Kali ini Vania menyiapkan hati untuk mendengar pertanyaan Vania yang rupanya mulai kritis di usianya yang sekarang.

"Kalau begitu, Nia enggak punya Ayah ya, Bu?"

Vania megap-megap, tidak siap dengan raut wajah kecewa putrinya yang sangat sekali kentara.

"Kenapa cuma Nia yang enggak punya Ayah?" Bisik Sania lagi, "Teman-teman Nia semua punya ayah sedangkan aku cuma punya Om Bram." Sania kemudian mendongkak, menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, "Ibu..., boleh enggak kalau Om Bram saja yang jadi Ayah aku, Nia ingin punya Ayah kayak teman-teman yang lain. Boleh, Bu?"

Vania menggeleng, perempuan itu memilih meraih putrinya ke dalam pelukan demi menyembunyikan tangis.

"Nia punya Ayah, nak. Ada, Ayah Nia ada...," Bisik perempuan itu sembari mengecupi rambut anaknya, "Nanti, kalau waktunya sudah tepat Ibu akan bawa Nia ketemu Ayah, ya. Sekarang, Nia sabar dulu."

CINTA YANG KADALUARSAWhere stories live. Discover now