7 Kisah Ali

241 47 1
                                    

"Aku sudah merelakan Rima jauh hari untuk kamu, Ndra, tapi tidak dengan Elma," ujar Ayah terdengar sendu. Matanya menatap lurus pria parlente di hadapan kami ini.

"Li-"

"Elma harus tahu jika dia mempunyai kakak kembar yang juga cukup cantik," sela Ayah sembari merangkul aku.

Laki-laki berkemeja bagus itu tampak menghela napas. Lalu membuang muka tanpa mau menatap Ayah.

"Aku yakin saat ini Elma selalu bahagia karena hidup bergelimang harta. Tapi di saat dia menikah nanti, cuma aku yang bisa menjadi walinya, bukan kamu, Hendra."

Pria bernama Hendra itu balas menatap Ayah. "Sudah ratusan kali aku membujuk Rima untuk mempertemukan Elma dengan kamu, tapi dia gak pernah menggubris."

"Kamu laki-laki. Kamu yang mengatur jalannya biduk rumah tangga, jadi kenapa kamu harus tunduk sama Rima?" Ucapan Ayah bernada menyindir.

Aku sendiri cukup terkejut Ayah bisa bicara sesinis itu. Karena biasanya semarah-marahnya Ayah selalu mampu mengendalikan ucapan.

Pria bernama Hendra itu melihat waktu di pergelangan tangannya. "Sorry Ali, tapi aku harus pergi."

"Dra--"

"Pasti akan kusampaikan pada Rima mengenai keinginanmu itu." Usai berjanji pria bernama Hendra itu menderap pergi. Dirinya tidak menggubris seruan Ayah yang menyuruhnya untuk berhenti.

"Ayah gak papa?" tanyaku ketika melihat Ayah tiba-tiba terhuyung ke belakang. Beruntung aku sigap menangkap. Jika tidak bisa saja Ayah terjerembap.

"Ayah baik-baik saja." Walau pun melengkungkan bibir, tapi aku tahu jika hati Ayah terluka. Senyum yang ia sungging adalah senyum kegetiran. "Ayo kita pergi!" ajak Ayah lirih.

Aku mengangguk. Kami melangkah menuju ke ruang untuk tempat cuci darah. Cuci darah Ayah menggunakan metode Hemodialysis yaitu cuci darah mengunakan ginjal buatan atau hemodializer.

Ada sekitar lima belas menit kami menunggu dipanggil. Selama itu aku memilih diam. Aku tidak akan bertanya mengenai siapa pria bernama Hendra itu. Serta seorang gadis yang Ayah sebab sebagai saudara kembarku.

Biarlah Ayah menceritakan sendiri tanpa kupinta. Karena fokusku adalah kesembuhan Ayah. Pria itu butuh transplantasi ginjal jika ingin tidak cuci darah terus.

Hal tersebut tentu membutuhkan banyak biaya. Makanya aku rela kerja siang dan malam serta tidak pernah memikirkan penampilan semata-mata demi kesembuhan Ayah.

Nama Ayah dipanggil. Aku menemaninya masuk ke ruang tersebut. Seorang tenaga medis medis memasukan jarum ke pembuluh darah Ayah. Hal itu dilakukan untuk menghubungkan aliran darah dari tubuh ke mesin pencuci darah.

Mesin tersebut berfungsi sebagai tempat penyaringan. Setelah tersaring, darah yang sudah bersih akan dialirkan kembali ke dalam tubuh. Proses itu berlangsung hingga tiga jam lamanya.

Ayah sampai tertidur karenanya. Aku sendiri memilih untuk bersantai dengan bermain gadget. Hal yang bisa kulakukan jika sedang menemani Ayah cuci darah. Sebab di waktu lain, hidupku hanya penuh dengan tugas dan pekerjaan.

Lelah bermain media sosial, tidak sadar aku pun terlelap. Baru tersadar saat Ayah membangunkan. Pria itu sudah selesai menjalani cuci darahnya. Usai menebus obat kami
bergegas meninggalkan rumah sakit ini.

"Ayah mau makan apa?" tawarku ketika sudah di dalam taksi.

"Soto Betawi saja."

Aku mengiyakan dengan anggukan. Kusebut alamat kedai Soto Betawi favorit kami pada sopir taksi. Kebetulan jaraknya juga tidak begitu jauh. Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit kami tiba di tujuan.

Pada pelayan aku memesan dua porsi soto Betawi berserta minuman es teh lemon. Rasa yang lapar membuatku tidak sabar menanti makanan favorit Ayah tersebut. Untung sepuluh menit kemudian, pelayan datang membawakan pesanan.

"Hati-hati makannya," tegur Ayah ketika melihatku melahap nikmat soto ini.

Aku meringis kecil. "Lapar jadi rasanya nikmat banget, Yah."

"Ya tapi hati-hati takut kesedak."

"Oke." Aku mengangguk ringan.

"Kamu gak penasaran sama laki-laki di rumah sakit tadi?" tanya Ayah dengan tatapan datar.

Aku menghentikan suapanku. "Jika bercerita membuat Ayah merasa sedih karena membuka luka lama, aku rela gak usah tahu tentang siapa mereka."

Ayah menatapku dalam. "Kamu memang anak ayah yang paling baik," pujinya seraya mengusap pelan pucuk kepalaku, "tapi sekarang sudah waktunya kamu tahu kenapa ayah berpisah dengan ibu kandungmu," imbuhnya terdengar bergetar.

Ayah meraih gelas besar di hadapan. Pria itu menyedot pelan minuman kecokelatan itu.

"Ayah mengenal ibumu sewaktu masih sekolah di SMA. Ibumu adalah gadis tercantik di sekolah. Selain cantik, ibumu juga bersuara merdu. Dia sering menang lomba menyanyi antar sekolah. Sementara ayah adalah bintang kelas," tutur Ayah memulai kisah. "Banyak yang menjodohkan kami untuk berpacaran. Karena memang terpikat dengan kecantikan ibumu, Ayah berani menyatakan cinta. Dan syukurnya gayung bersambut. Ibumu menerima cinta ayah." Ayah menjeda kisah. Pria itu tampak tersenyum tipis mengingat kenangan masa lalunya.

"Sayangnya kami sama-sama terlahir dari keluarga miskin." Kini wajah Ayah kembali muram. "Bahkan ibumu sudah menjadi yatim piatu dari semenjak kecil. Orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Ibumu diasuh oleh bibinya. Sedangkan Ayah lebih miris lagi."

"Kenapa, Yah?" Aku menyela karena penasaran.

Ayah kembali tersenyum getir. "Kata orang tua angkat ayah, ayah adalah anak bungsu dari enam bersaudara. Semuanya laki-laki. Keluarga kandung ayah juga orang biasa. Karena tidak mampu mencukupi kebutuhan anak-anaknya, makanya kakek memberikan ayah pada temannya yang tidak mempunyai anak. Waktu itu usia ayah masih satu tahun."

Aku mengusap jemari Ayah berusaha memberikan kekuatan. "Ceritakan tentang ibu lagi," suruhku lirih.

Aku mengangguk. Mata pria itu menerawang. Angannya melayang pada masa dua puluh tahun silam.

***

Ayah bertutur bahwa setelah lulus SMA baik dia maupun ibu tidak ada yang melanjutkan kuliah. Ibu yang mempunyai suara bagus bekerja menjadi penyanyi di Butter Kafe. Sementara Ayah bekerja sebagai buruh pabrik.

Keduanya menikah setelah dua tahun lulus sekolah. Awal pernikahan keduanya merasakan nikmatnya berumah tangga. Ayah memboyong Ibu dari rumah bibinya ke sebuah kontrakan. Karena kata Ayah, lima tahun setelah mengangkat dia jadi anak, ibu angkatnya melahirkan seorang anak.

Satu tahun menikah Ibu dinyatakan hamil. Tidak tanggung-tanggung Ibu mengandung bayi kembar. Karena kondisi yang tidak memungkinkan Ibu terpaksa berhenti menjadi penyanyi kafe.

"Lalu masalah demi masalah muncul saat hanya Ayah yang mencari nafkah," tutur Ayah sendu.

Flash back

"Bagaimana kondisi istri saya, Dok? Kehamilannya baik-baik saja kan?" tanya Ali pada dokter yang baru saja memeriksa perut Rima.

Di brankar Rima bangkit dari tidurannya. Ali dengan sigap membantu sang istri. Perut yang membesar membuat perempuan muda itu susah berjalan. Keduanya duduk menghadap dokter.

"Seperti bulan kemarin, posisi salah satu janin Mbak Rima sungsang. Jika beberapa minggu belum juga normal, terpaksa harus dioperasi caecar," terang dokter perempuan berkaca mata itu dengan serius.

Di hadapannya Rima dan Ali saling melempar pandangan. Masing-masing merasa takut. Selain biaya yang tidak sedikit, operasi besar saat itu masih banyak ditakutkan orang.

"Apa gak ada cara lain, Dok, selain operasi caecar?" tanya Ali khawatir.

Gadis Pemandu KaraokeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang