OBELIX (Lands of Dragon)

8 1 0
                                    

Prolog

OBELIX
(Lands Of Dragon)
.


Suara tawa dan derap langkah kaki terdengar samar dari arah taman. Seorang gadis kecil terlihat tengah berlari dengan segenggam bunga di tangannya.

“Ayah!” teriaknya ketika melihat seorang pria paruh baya yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada.

Pria itu melambaikan tangan, ia tersenyum pada si gadis yang sedang berlari ke arahnya. Tubuh kecil itu dengan cepat menerjang, tangan mungil kini sudah melingkari lehernya erat. Bocah itu tertawa renyah bak gemerincing lonceng yang menyenangkan.

Sang ayah menatap mata abu-abu putrinya yang berbinar, ia juga mengusap lembut surai panjang keemasannya. Pria itu tersenyum gemas, apalagi melihat si gadis kecil yang begitu manja.

“Ayah, Ayah! Apakah Ayah baru saja sampai rumah? Bagaimana keadaan ibu? Apakah adik kecil sudah keluar? Dia tidak nakal, kan? Tadi aku melihat ibu yang kesakitan, jadi aku berniat memukulnya setelah dia keluar karena sudah membuat ibu kesakitan.”

Si ayah tergelak, pertanyaan putrinya menerjang tanpa jeda hingga ia sendiri bingung harus menjawab dari mana. Meski begitu ia merasa senang karena menyadari bahwa anaknya memiliki rasa ingin tahu yang besar.

“Tentu saja adik kecil sudah keluar, tapi kau tidak boleh memukulnya karena ia sangat lemah. Adik kecil juga mudah sekali menangis. Maka dari itu, Emma, kau harus menjadi kakak yang baik dan tidak boleh nakal.”

Pipi gadis kecil yang bernama Emma itu menggembung, ada perasaan sedikit tidak suka dengan apa yang ayahnya katakan itu.

“Apa adik kecilku seorang perempuan? Kenapa dia cerewet sekali? Ini, kan harusnya menjadi urusan antara anak kecil?” dengkus Emma tidak senang.

Sang ayah lagi-lagi tertawa, ia tidak tahu dari mana putrinya belajar kosa kata seperti orang dewasa.

“Dia bukan seorang perempuan, Emma. Adikmu itu seorang bocah laki-laki yang tampan. Kau pasti akan takjub ketika melihatnya.”

Mata Emma mengerjap, ia tidak sepenuhnya tahu apa yang ayahnya maksud dengan kata takjub barusan. Meski begitu, sedikitnya dapat di tebak jika adiknya pasti istimewa.

“Bolehkah aku menemui adik kecil, Ayah? Aku berjanji tidak akan memukulnya. Karena Ayah bilang adik kecil lemah, jadi sebisa mungkin aku akan sangat hati-hati padanya.”

Sang ayah tersenyum, ia mengangguk sebelum akhirnya berjalan meninggalkan taman bersama dengan putri tersayangnya.

“Tentu, Emma. Mari kita lihat malaikat kecil itu.”

~***~

Pelayan baru saja membukakan pintu untuk dua orang anak dan ayah, ketika si bocah dengan segera meloncat dan terburu-buru menyapa seseorang yang sedang terbaring di atas ranjang.

“Ibu ... apa Ibu sudah merasa baik?”

Sang ibu yang mendengar pertanyaan itu tersenyum, dapat ia lihat putrinya kini tengah berlarian kecil mendekati ranjang. Surai pirang gadis itu bersinar, mata abu-abunya terlihat cemas.

“Ibu baik-baik saja, Emma. Maaf meninggalkanmu begitu saja tadi, kau pasti ketakutan.”

Emma menggeleng, ia menggenggam tangan hangat ibunya pelan. “Aku tidak takut, para pelayan bilang tidak ada yang harus aku takutkan. Ibu adalah orang yang kuat, dan adik kecil juga bukan anak nakal. Meski aku sedikit kesal karena dialah ibu jadi kesakitan.”

Wanita paruh baya itu terkekeh pelan, melihat tingkah lucu putrinya yang tidak pernah ia pikirkan.

“Itu bukan karena adikmu nakal, Emma. Dulu waktu kau akan lahir, ibu juga merasakan hal yang sama,” jawab si ibu yang membuat putrinya membeku seketika.

“Apakah itu artinya aku juga nakal, Bu?”

Mata abu-abu itu kini berkaca-kaca, sekarang bahkan gelak tawa ayahnya sudah tidak terhindarkan.

“Oh, Dewa. Bukan begitu maksud ibumu, Sayang. Jika diteruskan ibumu mungkin akan jadi makin kesulitan. Kemarilah, Nak. Lebih baik kita lihat adikmu dulu, bukankah kamu bilang ingin segera melihatnya?”

Sang ayah segera menggendong putrinya menuju tempat tidur bayi yang tidak jauh dari ranjang. Karena kadang perkataan Emma bisa membuat mereka kesulitan, satu-satunya cara menanganinya adalah dengan mengalihkan topik seperti sekarang.

Lagi pula tujuan awal mereka kemari memang untuk melihat adik laki-laki yang baru lahir ke dunia, tidak bisa dipungkiri juga bahwa gadis kecil itu terlihat sangat antusias.

Dari atas gendongan ayahnya, Emma dapat melihat kulit bersinar bocah kecil dari dalam ranjang. Mata gadis itu menatap takjub pada apa yang ia lihat sekarang. Mungkin inilah mengapa ayahnya mengatakan bahwa adik kecil seperti malaikat, ia sendiri tidak dapat memungkirinya.

“Apa aku boleh menyentuhnya, Ayah?” tanya Emma dengan suara yang pelan, ia bahkan takut jika suaranya akan membuat si kecil terusik dari tidurnya.

“Tentu, kenapa tidak? Kau sudah berjanji akan sangat hati-hati padanya, mana mungkin ayah akan meragukanomu, Emma?”

Gadis itu tersenyum senang. Sesaat setelah ia turun dari gendongan sang ayah, dengan pelan ia genggam tangan kecil itu pelan.

Sangat lembut dan terlihat rapuh. Meski begitu cengkeraman tangan adiknya cukup kuat, ia jadi merasa bahwa bocah kecil ini pasti sudah mengenali dirinya.

“Seperti sebuah keajaiban, Apa dia sudah punya nama, Ayah?”

Pertanyaan putrinya membuat dahi sang ayah berkerut. “Ayah belum menemukan nama yang cocok, tapi ayah sempat berpikir untuk menamainya Erick. Bagaimana denganmu, Sayang? Apa kau punya nama lain?” tanya sang ayah pada istrinya.

Ibu Emma terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya membuka suara. “Putra kita juga terlihat seperti malaikat, bagaimana dengan Gabriel? Itu terdengar cocok.”

“Ah!, Ya. Kita bisa gunakan keduanya, Erick El Gabriel Dixon. Tidakkah itu terdengar keren, Emma?”

Dahi Emma berkerut, nama itu sebenarnya terdengar sedikit sulit untuk ia ucapkan. Lagi pula orang-orang juga tidak mungkin menyebut nama mereka secara lengkap. Gadis itu hanya ingin memanggil adiknya dengan mudah, ia memikirkan nama panggilan si kecil dengan sangat keras.

“Bahkan tanpa nama pun, kau sudah terlihat keren. Sayangnya, akan sulit memanggilmu jika tanpa nama. Mari kita pikirkan nama apa yang cocok untuk adik kecil yang manis sepertimu.”

Sesekali Emma menggumamkan beberapa panggilan khusus yang ia ciptakan. Sambil mengamati adiknya tangan kecil milik gadis itu juga menyentuh pipi lembut sang adik yang sangat menggoda.

“Ini cukup sulit, kau bukan hanya seperti malaikat, kau keren dan juga imut. Seperti sebuah keajaiban, sayang sekali kau terlalu lemah. Tetapi kau tenang saja, karena aku akan menjadi kuat dan tidak akan membiarkan siapapun dapat mengganggumu” ujar Emma lagi sembari mengusap pipi adiknya.

Awalnya bayi itu tetap diam saja, mungkin karena orang-orang disekitarnya terdengar mulai berisik, belum lagi keusilan yang kakaknya lakukan, lama-lama ia pun jadi tidak nyaman.

“Kalau begitu bagaimana dengan Gabie? Terdengar lucu bukan?”

Tepat ketika Emma mengucap nama Gabie, mata bayi kecil itu juga mulai terbuka. Kilau abu-abu yang sama dengannya benar-benar membuat si kecil terlihat seperti seorang malaikat. Beberapa detik selanjutnya bocah itu menangis keras, membuat si gadis dan beberapa orang yang ada di sekitarnya segera mendekat.

“Oh, mungkinkah ia terganggu karena kita terlalu berisik? Emma, sepertinya kita harus sedikit menjauh untuk membiarkan adikmu istirahat, apa kau keberatan?”

Perkataan sang ayah di balas dengan gelengan. “Tentu tidak Ayah, karena Gabie masih terlalu lemahl sudah sepantasnya ia banyak istirahat.”

“Oho! Kau sudah menentukan nama panggilan untuk adikmu rupanya?”

“Bukan aku, dia yang memilihnya sendiri. Dari tadi aku menyebutkan banyak nama, tapi dia hanya diam. Hanya saat aku menyebutnya Gabie, matanya terbuka. Jadi aku pikir dia menginginkan nama itu, melihat reaksinya yang berbeda.”

Sang ayah mencoba membuka mulutnya, tapi segera ia tutup kembali. Entahlah ia hanya merasa tidak ingin merusak kesenangan putrinya, lagi pula nama panggilan Gabie juga tidak terlalu buruk.

~***~

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 16, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Obelix (Lands of Dragon) Where stories live. Discover now