11. Never Liked You

692 39 0
                                    


Hari ini, aku memutuskan untuk meminta maaf kepada sahabatku. Suatu kebetulan saat kelas kami hari ini sama.

Sebelumnya aku sudah melakukan kesalahan dengan merusak persahabatan kami hanya karena perasaan dan ego yang kumiliki.

Meskipun agak sulit melepaskan perasaan ini begitu saja, rasanya jauh lebih baik kami tetap bersahabat.

Aku menunggu Chicago di kursi taman dekat kelas kami.

Tanganku menggenggam segelas coklat hangat yang sudah tersisa setengah. Berkali-kali aku mengusap tengkuk tak nyaman.

Cuaca hari ini memang tidak terlalu cerah. Tapi tidak mendung juga. Setidaknya ramalan cuaca tidak menunjukkan jika hari ini akan hujan.

Yah, semoga saja hari ini tidak diselimuti hujan. Sebab Chicago tak terlalu menyukai hujan, aku ingat katanya mood gadis itu akan berubah galau serta hujan mengalirkan suara yang berisik di telinganya.

Aku hanya tidak ingin ada yang mengacaukan hari dimana persahabatan kami akan kembali seperti sebelumnya.

Mungkin saja...

Lagi-lagi aku mengusap tengkuk tak nyaman.

Rasanya seperti ada seseorang yang selalu memperhatikanku sedari tadi. Pandanganku menatap ke sekitar, namun tak ada yang nampak mencurigakan.

Merasa benar-benar tidak nyaman, aku berlalu ke bangku panjang di depan kelas. Setidaknya disana lumayan banyak mahasiswa dan mahasiswi lain.

Jauh lebih aman dibanding aku sendirian.

"Chicago!" pekik Selena memanggil gadis itu setengah berteriak akibat keramaian.

Beberapa kali dipanggil, Chicago akhirnya menoleh dan menemukan sosok Selena yang bergegas menghampirinya.

Tak butuh waktu lama, Selena kini berada tepat dihadapannya. Chicago menatapnya dalam diam. Agak merasa aneh dengan penampilan sahabatnya itu hari ini.

Seingatnya, Selena tak menyukai celana panjang apalagi yang seperti jeans. Selena juga tak suka mengenakan sweater rajut yang begitu tertutup.

Entah hanya perasaan Chicago tetapi menurutnya, Selena menyembunyikan sesuatu dari semuanya.

Dari semua orang termasuk dirinya.

"Ada apa, Selena?"

"Chi, aku hanya ingin menjelaskan sesuatu."

Jeda beberapa detik, "Aku ingin meminta maaf atas kejadian kemarin. Sungguh, aku sadar jika perasaanku itu tak seharusnya ada Chi."

"Kau yakin menyadari seutuhnya atau hanya demi memperbaiki persahabatan kita saja?" Chicago menatapnya penuh selidik.

Saat kalimat pertanyaan itu keluar dari mulut Chicago, Selena mendadak diam. Sejujurnya, ia hanya mencoba melepaskan perasaannya. Namun jika hanya demi memperbaiki persahabatan, itu mungkin juga.

"Aku...aku memang merasa tak yakin untuk itu Chi. Tapi, aku memang tulus ingin memperbaiki persahabatan bukan karena ego ku yang salah."

"Dan aku juga ingin memberitahu sesuatu mengenai Trav-..."

"Selena?"

"Y-ya? Kenapa Chi?"

"Minggir!!"

Semuanya terjadi begitu cepat saat Chicago menarik kedua tangannya hingga terjatuh agak jauh dari sana.

Orang-orang terkejut ketika disaat yang bersamaan sebuah pot keramik yang cukup besar jatuh tepat ditempat Selena berdiri sebelumnya.

Chicago membantu Selena bangkit, "Kau tidak apa-apa?" tanyanya.

Selena mengangguk. Ia masih syok atas apa yang terjadi beberapa detik yang lalu. Andai saja Chicago tak menariknya, mungkin tadi adalah hari terakhirnya menjalani kehidupan.

Kepalanya mendongak ke atas. Keningnya mengernyit bingung sebab tak menemukan siapapun disana. Atau jejak mengapa pot itu bisa terjatuh.

"Aneh, mengapa pot seberat itu bisa terjatuh?" ucap Selena melirik Chicago yang hanya diam.

"Entahlah. Kurasa angin mungkin, atau letak pot nya kurang pas." balas Chicago yang merasa diperhatikan.

Kedua gadis itu lalu memeriksa jam tangan mereka, tinggal 10 menit sebelum kelas dimulai.

Diam-diam, Chicago menatap datar ke arah Selena. Lalu bergantian ke atas sana.

Tentu saja. Chicago tau betul siapa yang melempar pot itu sebelumnya.

ACATHEXIS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang