[ᴀ sʜᴏʀᴛ sᴛᴏʀʏ ɪɴsᴘɪʀᴇᴅ ʙʏ ᴀɴ ᴀᴍᴀᴢɪɴɢ ᴄʜᴀʀᴀᴄᴛᴇʀ, ᴀʀsᴇɴᴇ ʟᴜᴘɪɴ. ᴘʟᴀʏᴇᴅ ʙʏ ʜᴜᴇɴɪɴɢ ᴋᴀɪ]
dua minggu.
aku beri kamu waktu dua minggu untuk mencari alasan kamu hidup.
!! TW// suicidal thought, unstable mental
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku anak tunggal yang tinggal sendirian setelah orang tuaku berpisah. Mereka menikah lagi dan hanya memberiku harta sebagai bentuk tanggung jawab.
Aku dirundung. Pertama, karena aku tidak seperti mereka yang punya orang tua lengkap. Kedua, aku tidak sopan—menurut mereka—karena aku melawan.
Satu satunya yang aku pedulikan jika aku mati hanya nenekku. Aku tidak punya alasan untuk hidup—karena nenek punya banyak cucu, sementara akuhanyasatu dari sekianbanyakalasannyatersenyum. Bahkan di saatbegini, neneklebihsibukdengancuculainnya. Lagipula, akan lebih mudah bagi keluargaku jika mendengar aku dibunuh, daripada bunuh diri.
Toh, meski mereka tidak peduli, mereka lebih mementingkan citra. Apa kata orang jika mendengar keturunannya bunuh diri? Lebih baik dibunuh.
Jadi, aku mohon Tuan Lupin, bunuh aku."
-Lee Bitna
Tepat ketika gadis itu mengirim pesan yang diminta sang pembunuh, seseorang mengetuk pintu masuk kediaman sempitnya.
Sempat bertanya takut, karena seingatnya, Bitna tidak ada janji dengan siapapun.
"Paket!"
Bitna tersentak, segera beranjak dan membukakan pintu. Melihat pemuda jangkung dengan perawakan familiar, menggunakan seragam kurir dan topi rendah, membawa kotak kecil di tangannya.
Membiarkan kotak berpindah tangan, lantas pemuda itu mengulas senyum tipis sebelum undur diri. Menyisakan Bitna dan kebingungan.
Membuka kotak dengan ragu, sekuntum mawar menyambut atensi gadis itu. Dilengkapi kartu ucapan yang kosong, dan kotak lain yang berisi alat elektronik penyumbat telinga—persis seperti punyanya yang diambil siang ini.
Bitna artinya bersinar, tapi yang ini, sudah lama kehilangan sinarnya. Redup dan mati.
Maka sekuntum mawar yang didapat menjadi kekuatan barang sedikit. Menyalakan sumbu hingga hangat.
Membalik kartu polos di tangkai bunga, gadis itu kembali melihat goresan dan tulisan tangan yang sama. Bedanya, kalimat kali ini membuatnya merinding.
"Maaf karena tidak mengulurkan tangan tadi siang."