12. Smell Blood Every Minute

672 37 4
                                    


Tap.

Tap.

Tap.

Langkah kaki itu menggema diantara jalanan yang sunyi. Mengiringi suara rintik hujan sejak senja hari tadi.

Sepasang matanya berkilat tajam. Tersenyum senang seakan mendapat mangsa hasil buruan. Terhitung sudah lama memang. Ia mengusap lengan dibalik saku hoodie hitam, berharap malam ini akan membawakannya mimpi indah.

Sementara beberapa belas meter dari jarak sosok itu, nampak seorang gadis yang tengah berjalan menyendiri. Pandangannya kosong dengan mata sembab.

Dia berjalan pelan. Tak menyadari jika sedang diperhatikan sedari tadi. Tidak. Mungkin sejak kemarin lusa.

Payung ungu di tangan itu sudah melayang entah kemana akibat angin kencang. Rintik hujan sebelumnya perlahan mulai berubah lebat. Membasahi sebagian bumi berlatar langit hitam tersebut.

Tepat tengah malam.

Srekk.

Gadis itu tersentak dari lamunannya ketika hujan lebat lagi-lagi membuat seluruh tubuhnya basah kuyup.

Srekk.

Aneh. Itu bukan bagian dari suara hujan. Diam-diam gadis itu membatin ketika untuk kesekian kalinya mendengar suara mirip gesekan antar suatu benda dengan jalanan.

Kepalanya menoleh ke sekitar. Namun tak menemukan apapun meski bunyi itu terus terdengar nyaring ditengah suara khas hujan.

Dia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya. Pergi kemanapun saat ini yang dia bahkan tidak tau arah jalan pulang.

Hanya saja, dia benci rumahnya.

Dia benci tempat tinggal berisikan satu keluarga yang tak pernah saling menyapa meski masing-masing ada, baik-baik saja.

Gadis itu hanya ingin tiga kata. Rumah, cinta, dan keluarga.

Ada tempat dimana dia tinggal, datang dan pulang. Dengan cinta dan kasih sayang, juga keluarga harmonis yang saling memedulikan.

Tidak sulit, namun tidak mungkin untuk dia miliki.

Terlalu larut dalam lamunannya, gadis itu tersentak saat ada tangan seseorang yang berbalut sarung tangan hitam menepuk pundaknya.

Saat hendak membalikkan tubuhnya, tanpa aba-aba sebuah tongkat besi dipukulkan ke kepalanya hingga gadis itu jatuh pingsan seketika. Namun samar-samar, pandangannya yang mulai menggelap masih bisa mengenali pria berhoodie hitam ini.

Bukankah....dia Travis?!

Kesadaran gadis itu menghilang sempurna.

Travis kemudian menutup kepala gadis itu dengan penutup kain hitam lalu mengangkat tubuhnya ke pundak layaknya karung beras.

Petir menyambar bersahutan saat itu. Sekarang sudah melampaui tengah malam dan tak mungkin ada yang melihat kejadian sebelumnya.

Yang pasti, butuh beberapa menit sampai Travis membawa tubuh itu ke belakang gudang tak terpakai dekat taman. Ia membiarkan gadis itu tergeletak tak berdaya diatas lantai kayu usang nan berdebu.

Seringai muncul di wajah Travis. Tangannya bergerak menjangkau pisau tumpul lalu berdiam sebentar meneliti atas sampai bawah tubuh gadis itu.

"Jadi...aku harus mulai dari mana?" Travis bergumam dengan raut kebingungan.

Melihat ukiran tatto kupu-kupu di sepanjang paha, Travis memutuskan mulai dari sana. Ia membuat goresan yang sama seperti garis kupu-kupu itu. Tak menghiraukan darah yang perlahan mengalir keluar.

Selanjutnya berpindah ke tangan. Travis mengingat sesuatu hingga ia tanpa pikir panjang menyayat kedua tangan gadis itu.

Gadis itu menjerit dan menangis histeris dalam penutup kain tersebut. Baru saja bangun dengan kondisi kepalanya pusing, sekarang entah kesialan apa sampai ia merasakan sakit yang teramat.

Mulutnya ditutup dengan lakban hingga jeritannya teredam.

Travis mendecak, "Kenapa kau selalu menggunakan kupu-kupu?!" katanya sembari menggoreskan sebilah pisau kecil yang tajam ke leher gadis itu.

Leher bertatto kupu-kupu biru tersebut sontak mengeluarkan garis penuh darah segar.

Ia bangkit, lalu menginjak pundak tanpa lengan itu berkali-kali. Daging putih mengeluar dari sana bersama tulang yang terlihat jelas sekarang.

Travis tidak peduli apakah gadis ini akan mati atau tidak karena tidak ada bedanya baginya. Tujuannya sedari awal ya sesungguhnya adalah membuat gadis pengganggu ini mati.

"Astaga, masih banyak yang harus kulakukan untukmu." gumam Travis tak jelas.

Perut gadis itu terbelah dan organ-organ tubuhnya disana perlahan keluar setelah Travis menginjak perutnya.

Tangan kiri Travis menarik ususnya dan memotong-motong usus itu hingga menjadi bagian-bagian kecil. Kemudian membalikkan tubuh tak berbentuk itu dan kembali menyayat punggung gadis itu hingga lukanya menganga lebar.

Lantai kayu yang sebelumnya penuh debu dan kecoklatan kini berubah penuh darah dan cairan-cairan berbau anyir.

Brakk.

Suara pintu yang dibuka kasar membuat perhatian Travis mendadak teralih.

Siluet seorang wanita dengan gaun tidur hitam tampil diambang pintu. Travis terdiam kaku hanya beberapa detik sebelum wajahnya terlihat dibalik rambut ikal yang terurai basah.

"Oh, hai Travis!"

Wanita itu, Chicago, menyapanya dengan senyuman lebar.

"Chicago?"

"Ya? Kau sedang a-...pa?"

Pandangan Chicago jatuh ke tubuh orang entah siapa itu yang sudah tak berbentuk dan terlihat sangat menjijikan.

Sontak Chicago menutup hidungnya setelah aroma anyir itu masuk ke dalam indra penciumannya.

Bodohnya Chicago malah mendekati mayat itu. Dia melangkah sangat hati-hati agar tak menginjak potongan-potongan tubuh tersebut.

"Chicago-"

"Aku tidak bisa tidur jadi aku memutuskan berjalan keluar dan aku mendengar suara berisik disekitar taman ini."

"Chic-"

"Astaga, ternyata itu kau Travis. Siapa orang ini? Kenapa kepalanya ditutup? Aku ingin melihatnya sebentar, hanya penasaran."

"Chicag-"

Tangan Chicago menyibakkan penutup kepala tersebut. Setelah wajah sang mayat terlihat, matanya membelalak kaget.

"D-dia...dia Selena?!!" pekiknya.

Chicago termundur beberapa langkah. Travis mengira dia syok karena sahabatnya dibunuh oleh pria itu.

"Chi-" Travis terus berusaha memanggilnya namun Chicago memotong perkataannya.

"Tidak, Travis. Kenapa kau tidak mengajakku? Kenapa kau membiarkan dia mati di tanganmu, sial!"

"Chicag-"

"Aku sudah dari lama ingin membunuhnya padahal! Kenapa kau tidak mengajakku jika ingin membunuhnya, Travis!! Hiks.."

"CHICAGO!!"

Chicago mendongak masih dengan tangisannya, ia menatap Travis yang memandangnya dengan pandangan aneh.

Beberapa detik Travis terdiam sebelum tiba-tiba pria itu berucap frustasi.

"Apa kau sudah gila?"

ACATHEXIS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang