satu: [Penerusan Tahta]

24 3 0
                                    

'Dor'

Suara tembakkan memenuhi indra pendengaran pria yang berusia 25 tahun itu. Dengan muka yang mengeras, ia berlari menuju sumber suara tanpa memerdulikan apa pun.

'Dor'

Suara tembakkan terdengar lagi, kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Mungkin pistol yang dipakai berkaliber lebih tinggi sehingga suara yang dipantulkan lebih besar. Ia berlari lebih kencang karena khawatir.

"Papa!" teriaknya kaget saat melihat ayahnya tersungkur di lantai. Tak lupa dengan wajah memar ayahnya. Lelaki itu berlari mendekat dengan wajah ketakutan.

"Darreno ... Oh Darreno ... Besar juga nyalimu, bocah tengik," ucap seseorang yang disinyalir adalah musuh dari ayahnya.

"Apa maumu, pria tua?" tanya lelaki itu sambil menopang tubuh ayahnya yang sudah 

bersimbah darah.

"Ayahmu pasti sudah tau, apa yang aku mau." Ucapnya tenang. Darreno—pria yang berusia 23 tahun tadi—menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.

"Bagaimana bisa aku bertanya padanya? Kau buta? Dia bahkan sudah tidak sadarkan diri." Darreno menatap ke arah ayahnya dengan tatapan datar. Pria tua ini selalu menyusahkannya dan selalu sekarat saat ia sedang menyelamatkannya.

"Haruskah kuberi tahu?" tanya pria tua yang merupakan musuh ayahnya itu.

"Tak perlu, aku bisa bertanya sendiri saat ia sadar. Jadi izin 'kan aku untuk pergi dari sini dan membawanya ke rumah sakit," kata Darreno sambil membopong ayahnya. Pria tua itu mengernyitkan mata bingung.

Bocah tengil ini meninggalkan medan pertempuran tanpa hasil apa pun? Apakah dia bercanda? Pria tua itu langsung menghadangnya.

"Kau mau ke mana bocah tengik?" tanya Pria tua itu.

"Sudah buta, sekarang telingamu tak berfungsi kah, pria tua?" tanya Darreno remeh. Pria tua itu menggeram tak suka.

"Namaku Pobian." Pobian menatap Darreno tak suka. Darreno yang ditatap sengit malah berdecih dan menunjukkan sikap tak acuh.

"Baiklah, Tuan Pobian. Akan kuusahakan supaya keinginanmu terwujud. Tapi izin 'kan akuuntuk membawa Jemian terlebih dahulu," Darreno menjeda perkataannya sambil membetulkan letak Jemian-ayah Darreno-yang berada dipundaknya.

"Kau tahu 'kan, belum ada peresmian langsung tentang perpindahan warisan. Kau mau ikut bangkrut bersamaku?" tanya Darreno santai. Pobian menggeleng dan menyilahkan bocah tengil itu untuk pergi.

"Anak pintar," ucap Darreno pada Pobian yang menurutinya seperti anjing peliharaan.

"Kau?!" geram Pobian karena tidak terima diperlakukan seperti anjing oleh Darreno.

"Aku? Sebentar lagi menjadi tuanmu, Pobian." Jawab Darreno enteng. Ia terus berjalan meninggalkan Pobian yang masih bergelut dengan harga dirinya yang jatuh.

Darreno pun membawa Jemian menuju rumah sakit. Jemian terkena dua peluru di kaki dan tangannya. Padahal tak terlalu parah, namun Jemian sudah terpejam sejak ia sampai. Mungkin ayahnya sudah tidak sebugar dahulu, Darreno ikut bersimpati atas hilangnya stamina Jemian.

Sesampainya di rumah sakit-tentu saja rumah sakit khusus untuk mereka karena mafia berurusan dengan persenjataan ilegal-Jemian langsung ditangani dokter di ruang operasi. Ibu Darreno sampai di rumah sakit empat puluh menit setelah ayahnya masuk ke ruang operasi.

"Darren! Kenapa lagi dengan ayahmu?" tanya Ibu Darreno pada anak semata wayangnya itu.

"Tanya sendiri kepada suamimu, aku pun tak tahu kenapa si tua bangka itu gemar sekali menjemput ajal." Ujar Darreno datar. Gemima-nama ibu Darreno-menatap anaknya dengan lirikan mata sebal. Ayah dan anak sama saja tabiatnya.

Tuan MafiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang