17. Familia

557 29 0
                                    


Sepanjang perjalanan, Chicago hanya diam sembari menatap pemandangan luar di tengah kota.

Bahkan tak terdengar suara hembusan nafas atau apapun dalam mobil yang dikemudikan Travis tersebut.

Dalam benaknya, Travis sejujurnya agak bingung dengan sikap aneh Chicago hari ini. Pagi tadi dia hanya bilang bahwa akan mengantar gadis itu pulang ke rumahnya.

Mungkin saja suatu waktu Chicago ternyata merindukan keluarganya jika terlalu lama bersama dirinya, pikir Travis.

"Tidak ingin membeli sesuatu?" tanya Travis melirik sekilas ke sampingnya.

Meski hanya diam dengan raut wajah tak terbaca, Chicago menoleh. Lalu menggeleng dan kembali melihat ke luar jendela.

Tak ingin pusing memikirkan perubahan Chicago, Travis menaikkan kecepatan mobilnya. Hingga sekitar tiga menit kemudian mereka sampai tepat di depan gerbang rumah bernuansa kecoklatan itu.

Awalnya, entah mengapa Chicago seperti ragu ingin turun. Tatapannya seakan memohon pada Travis agar putar balik dan kembali ke tempat lain.

Ingin mengajukan pertanyaan, namun Travis jadi sedikit khawatir ada apa antara Chicago dan keluarganya. Ia pun turun untuk membukakan pintu mobil dan menggenggam erat tangan gadisnya.

Saat membuka gerbang, Travis merasa rumah itu begitu senyap.

Hampir seperti...tak berpenghuni.

Rumah kediaman Chicago dan keluarganya bisa terbilang mewah namun klasik atau masih bergaya sederhana dengan furniture serba kayu.

Pegangan tangannya semakin kuat. Travis melihat Chicago yang sedikit ketakutan. Ia mengusap lengan Chicago bermaksud menenangkan.

Berkali-kali Travis memencet bel tetapi pintu belum juga dibuka. Pandangannya meneliti sekitar dan keningnya berkerut bingung ketika melihat seluruh jendela rumah sampai lantai atas bahkan masih tertutup rapat.

"Kenapa jendelanya tertutup? Apa kau sendirian di rumah?" tanya Travis.

Chicago menggeleng, tanpa aba-aba gadis itu malah menariknya keluar dari gerbang dan membawanya kembali ke mobil.

Travis hanya diam saat Chicago menutup pintu mobil. "Bisakah kita kembali ke tempat lain saja?"

"Tapi kenapa memangnya?"

"Aku akan menceritakannya jika kita ke tempat lain nanti."

Untuk beberapa saat, Travis hanya diam. Namun tak urung menjalankan mobilnya beranjak dari sana. Sekarang ia memutuskan untuk membawa Chicago ke rumah aslinya saja.

Seperti sebelumnya, Chicago kembali diam menatap lurus ke depannya. Ekspresi datar gadis itu membuat Travis merasa aura sekitarnya mampu membuat siapapun merinding.

Entah mengapa Travis merasa ada yang aneh pada keluarganya Chicago. Beberapa kali ke sekitar tempat tinggal gadis itu, membuatnya ingat beberapa orang asing seringkali keluar dari kediaman Chicago di tengah malam entah untuk apa.

Dulu ia memang tak peduli dengan sekitarnya. Tetapi sejak kehadiran Chicago, gadis itu mampu membuatnya merasakan senang, khawatir, bahkan marah.

Dan saat ini Travis khawatir pada dirinya.

Mobil mulai memasuki pekarangan rumah Travis. Tak banyak tanya, Chicago justru turun dengan mudah dari mobil dan menunggunya tepat didepan pintu rumah.

Benar saja, Travis yakin ada yang aneh dengan keluarga Chicago. Ia membuka pintu dan mengajak Chicago ke kamar pribadinya.

Setelah melepaskan hoodie hitamnya, Travis merebahkan tubuhnya dengan menjadikan paha Chicago sebagai bantal.

Tangan Chicago terangkat mengelus pelan rambut blonde miliknya. Sejenak, Chicago menghela nafas mengingat kejadian beberapa waktu lalu.

"Ditengah malam saat kau melenyapkan Selena, aku keluar dari rumah bukan karena tidak bisa tidur. Melainkan karena keluarga gila itu." ucap Chicago.

Chicago merasa gelisah dalam tidurnya. Ia tiba-tiba bangun dan ke wastafel, memuntahkan makanan yang dicernanya.

Kepalanya terasa begitu sakit. Chicago duduk diam di tepi ranjangnya dengan keringat dingin disekujur tubuh gadis itu.

Setelah merasa sedikit membaik, Chicago berjalan pelan keluar kamar. Berniat mengambil air hangat dan obat ke dapur untuk meredakan sakit kepalanya.

Baru saja ingin berjalan ke dapur, suara percakapan beberapa orang menyita perhatiannya.

Ia bersembunyi dibalik lemari tinggi pembatas ruang tamu dan ruang makan lalu mendengar suara yang amat sangat ia kenali.

Itu suara ayah, ibu, paman, dan bibi nya.

"Siapa lagi yang harus kita korbankan?!"

Suasana mendadak hening selama beberapa detik. Chicago melirik dari celah rak lemari dan menemukan mereka semua saling berpandangan.

"Chicago-"

"...Bagaimana dengan dia?"

Ibunya menatap datar pada paman nya, "Kau lupa jika dia sudah kita korbankan saat usianya 10 tahun? Entah keberuntungan apa yang dimilikinya hingga para iblis itu masih membiarkannya hidup disini."

"Kurasa orang tuanya melakukan suatu perjanjian hingga pada akhirnya gadis itu tetap hidup dan meminta kita merawatnya."

Tatapan Chicago berubah dingin. Ia sekarang memahami semuanya. Dan Chicago memutuskan berbalik dan meninggalkan rumah itu lewat pintu belakang.

Tidak! Tak ada siapapun yang boleh mengorbankan orang terdekat yang dimiliki Chicago sekarang.

Meskipun Travis sudah termasuk makhluk yang gila. Tetapi dia sendiri merasa keluarga gadis itu lebih gila dibanding dirinya.

Travis merasa ia tak bisa berkata apapun saat ini. Cukup tak menyangka jika Chicago punya kehidupan yang rumit.

"Jika saat itu mereka mengatakan orang tuamu melakukan perjanjian, maka berarti...-"

"Ya. Mereka bukan keluargaku sesungguhnya."

ACATHEXIS Where stories live. Discover now