Perjalanan pulang bersama Ibu lebih membuatku tertekan. Aku mengharapkan amarah atau pertanyaan, aku harap aku menangis, tapi aku dan Ibu cuma mematung sepanjang perjalanan. Jalanan mendadak lengang, kami tiba di rumah tanpa terhalang macet.
Aku mematung lama di depan foto Bapak. Sebenarnya kenapa, ya? Toh, ekspresi Bapak tidak bakal berubah. Bapak akan tetap mati dan fotonya tergantung di sana.
"Makan?" Ibu menegurku.
"Iya." Aku mengangguk.
Ibu benar-benar tidak bertanya. Makanan mulai dipersiapkan, aku menunggu di meja makan sambil mengamati jam berubah. Mungkin aku bakal menelepon Bli Yoga nanti, mungkin dia bisa mengatakan sesuatu yang bakal membuatku merasa lebih baik.
Tapi, sebelum waktu itu tiba, air mataku tumpah. Pelan, awalnya. Aku menelan asinnya sampai memenuhi rongga dada. Lalu tubuhku gemetar, suara teroris dan Bapak giliran menggaung di telinga.
Semakin keras.
Makin jelas.
Aku mulai paham aroma yang Mbak Astri, bau yang membuatnya tidak bisa makan daging berbulan-bulan. Bau yang sama memenuhi hidungku, semua yang ada di sekitarku berubah jadi tanah kering, tandus, pelan-pelan berubah jadi cokelat kemudian hitam pekat.
Ada yang terbakar, tapi tidak di sini. Tempatnya jauh. Gelap. Bapak ikut terjebak di dalamnya.
Lagi-lagi aku memuntahkan isi perut. Ibu menyambar kain lap meja lalu menadahkannya di bawah mulutku, sensasi asam membuat mulutku tidak nyaman, tetapi aku tidak bisa berhenti. Bahkan, kakiku mulai gemetar.
Tahu-tahu aku sudah meraung-raung di pelukan Ibu. Ibu tidak ikut menangis, Ibu hanya duduk dan memelukku, menepuk-nepuk punggungku tanpa kata-kata. Ketika aku mendongak, Ibu menciumku berkali-kali, menyebutku hebat dan berani. Ibu juga menangis lama-lama, tidak bicara juga.
Ibu marah. Aku tahu. Marahnya bukan sesuat yang dia teriakkan, tapi sesuatu yang ia manifestasikan menjadi tindakan yang melepaskan pertanyaan-pertanyaannya sendiri soal Bapak. Ibu tahu sejak lama, bahwa seberapa besar pertanyaannya, seberapa keras ditanyakan, seberapa dekat pertemuan denga teroris. Tidak ada satupun yang bisa membawa Bapak kembali.
Selama ini, Ibu marah dan berduka dengan sopan, berusaha tidak menyinggung siapa-siapa. Harus diakui, jika Ibu mau benar-benar murka, Ibu sudah bakal mengutuki siapa saja dan apa saja yang menjadi akar semua teroris yang mendalangi bom itu.
Hari terus berputar dan malam semakin larut. Aku menghabiskan hari berbaring di kamar dengan mata sembab dan tubuh lemas. Sayup-sayup, aku mendengar suara Ibu ngobrol dengan seseorang di telepon. Aku membawa diri meninggalkan kamar dan mendapati Ibu menelepon Bli Yoga di teras. Sambungan telepon diubah menjadi percakapan video oleh Ibu, aku menatap langsung Bli Yoga tanpa kata-kata.
"Halo," sapa Bli Yoga sambil nyengir.
"Hai," balasku sambil mengangguk.
Bli Yoga kembali bicara. "Nggak hujan, ya, di sana? Soalnya di sini hujan."
"Nggak, cerah." Aku mendongak pada langit.
Pemandangan pendar bintang memancing senyumku di ujung bibir. Saat pandanganku beralih, mataku bertemu dengan tatapan Ibu yang duduk di kursi teras.
"Banyak bintangnya?" tanya Bli Yoga, ia terdengar canggung.
"Lumayan." Aku tersenyum samar. Jemariku mengganti posisi kamera, memindahkannya ke kamera belakang lalu mengarahkan kamera pada langit. "Tuh, lihat sendiri."
"Oh, iya, lumayan." Bli Yoga menyepakati.
Ibu menghampiriku, berada cukup jauh untuk memberi privasi tapi cukup dekat untuk membuatku tetap nyaman. Sebenarnya aku ingin tertawa melihat Bli Yoga yang canggung, aku yakin Ibu sudah cerita pada Bli Yoga soal hari ini, tapi Bli Yoga cukup baik untuk tidak bertanya macam-macam. Aku menghargai kebohongannya, pura-pura tidak tahu dan mengabaikannya sedikit.
Aku sempat berpikir untuk mengatakan sesuatu yang puitis, mungkin kata-kata inspiratif yang merangkum pengalamanku bertemu teroris, tapi aku tidak punya. Maka, aku memutuskan untuk bersandar pada Ibu dan terus memamerkan bintang pada Bli Yoga.
Untuk yang kesekian kalinya, kami bertiga berdiri di bawah bintang berpendar dengan bebannya yang berbeda-beda.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
Made of Stars' Fire
Short Storyseorang puteri korban ledakan bom menemui teroris dalang peledakan untuk merekam film dokumenter di penjara tempat si teroris dikurung.