3

1K 254 16
                                    


"Assalamualaikum."

"Wa Alaikum salam, mari Abah, Ummi silakan masuk."

Hikam segera menyilakan mertuanya masuk dan mengantar ke kamarnya, di sana Nisa sedang beristirahat. Perlahan Nisa membuka mata saat mendengar suara-suara, lalu tampak wajah kedua orang tuanya.

"Gimana Nisa? Sudah enakan?" Zahira duduk di samping Nisa, di sisi ranjang besar itu.

"Alhamdulillah Ummi, pokoknya besok aku mau puasa."

"Eeeh kamu ini, jangan dulu kata Didit, dia tadi ke rumah pesen kamu jangan bandel katanya dan dia titip lagi makanan kesukaan masa kecil kamu, tadi aku letakkan di meja ruang tamu."

Hikam terlihat tanpa senyum, sedang Ibrahim yang berdiri di dekat Hikam hanya geleng-geleng kepala melihat Nisa yang tetap saja keras kepala seperti biasanya.

"Saya kok baru tahu ya Ummi, jika dokter yang kapan hari menangani Dik Nisa itu masih ada hubungan saudara dengan keluarga Ummi?"

Zahira dan Ibrahim tersenyum lalu mengajak Hikam ke luar dari kamar besar itu agar Nisa bisa beristirahat.

"Iya mari Abah Ummi, biar Dik Nisa beristirahat dulu, kadang dia masih saja bingung cari Abyan hanya saya melarang Dik Nisa menggendong, paling pembantu yang saya suruh ke sini sambil membawa Abyan."

Sesampainya di ruang keluarga ketiganya duduk.

"Tentang Didit, dia bukan keluarga dekat lagi, sangat dekat, dia keponakan langsung dari abahnya Nisa, memang dulu saat Nak Hikam menikahi Aisyah dia masih pengabdian di daerah terpencil jadi nggak sempat hadir ke pernikahan kalian, dan takdir berkata lain tak sampai setahun dalam kondisi hamil besar Aisyah meninggal masih beruntung Abyan bisa diselamatkan, selang beberapa bulan Nak Hikam menikahi Nisa dia juga belum bisa hadir makanya baru bertemu saat dia sudah bekerja di rumah sakit swasta itu."

Hikam mengangguk-angguk, tapi lagi-lagi dia bertanya.

"Tapi kata Dik Nisa, Mas Didit itu suka sama Dik Nisa apa betul?"

"Yah sejak kecil suka ganggu Nisa yang tomboi eh kok lama-lama pas sama-sama sudah besar lah dia bilang serius sama Nisa tapi Nisanya yang nggak jelas sampai peristiwa kecelakaan itu dan kalian akhirnya menikah, jadi ini sekalian bicara masalah Nisa, ummi titip Nisa ya Nak Hikam, dia sudah merelakan masa mudanya untuk keponakannya tercinta, sebenarnya dia ingin melanjutkan ke S-2 dan menjadi dosen tapi biaya dari mana? Saya hanya buka warung kecil-kecilan dan bengkel abahnya juga biasa aja tidak begitu ramai, hanya Nisa ingin menempuh jalur beasiswa tapi saya mencegah karena kasihan Abyan yang tak ada umminya, hingga akhirnya dia mau." Zahira menatap menantunya yang menunduk sambil mengangguk.

"Jadi intinya Nak Hikam tidak usah khawatir pada Didit, dia tidak akan ganggu Nisa, dia tahu kok kalo Nisa sudah nikah, hanya sekali lagi saya sebagai abahnya Nisa titiiip banget, tolong perhatikan Nisa, meski dia tak cerita apapun tapi dari sorot matanya saya tahu jika dia banyak pikiran, apalagi dengan kambuhnya penyakit lama yang sejak dulu di derita Nisa membuat saya yakin Nisa banyak pikiran." Ibrahim menambah apa yang sudah disampaikan istrinya. Hikam terlihat mengerjabkan matanya berkali-kali terlihat jika dia merasa bersalah dan bingung ingin menjelaskan apa pada mertuanya.

"Kami tahu jika tak mudah melupakan peristiwa yang menimpa nak Hikam, kehilangan Aisyah dengan cara yang tak biasa, meski kami tahu sebenarnya Nak Hikam juga baru saja mengenal anak kami yang pendiam itu."

"Kelembutan Dik Ais yang membuat saya sulit melupakan semuanya, meski baru kenal, cocok dan langsung menikah tapi kenyamanan yang dia berikan tak mudah saya lupakan, saya selalu merasa jika saya yang membuat dia celaka itu yang membuat saya agak sulit menerima Dik Nisa masuk seutuhnya ke dalam hati saya."

Nisa yang mendengar samar-samar suara Hikam merasakan perih hatinya. Nisa merasa jika ia mulai menyukai Hikam, semakin ia berusaha mengabaikan hatinya semakin ia menyukai laki-laki yang selalu mengabaikannya.

Ibrahim dan Zahira yang mendengar ucapan Hikam hanya bisa menghela napas.

"Kasihan Nisa kalau begitu Nak Hikam, berarti selamanya dia akan diabaikan oleh Nak Hikam, jika tak ada jalan lain meski jalan ini dibenci oleh Allah apa tidak lebih baik kalian berpisah saja sebelum semuanya semakin memburuk? Meski ia anak yang keras hati tapi saat kami meminta ia menjadi ibu sambung bagi Abyan ia langsung mau, artinya dia anak yang patuh lalu saat kenyataan pernikahannya tidak baik-baik saja kami jadi merasa bersalah, artinya jika suatu saat Nisa merasakan jenuh yang amat sangat dan ia minta berpisah dari Nak Hikam tolong lepaskan dia." Ibrahim berkata dengan suara bergetar dan Hikam terlihat sangat kaget.

"Tidak Abah, tidaaak! Saya tidak akan pernah melepaskan Dik Nisa, saya masih berusaha menjadi laki-laki normal baginya, saya akan belajar suka padanya, doakan saya, doakan pernikahan kami."

"Tidak usah Nak Hikam minta, di setiap sujud saya selalu saya doakan kebahagiaan untuk pernikahan kalian, hanya jika ini berlangsung lama maka yang sakit anak saya, bukankah dia tak tersentuh sampai saat ini?" Suara pelan Zahira sanggup membuat Ibrahim kaget, ia menoleh menatap Hikam dan istrinya bergantian, lalu samar-samar Hikam mengangguk.

"Ya Allah." Seru Ibrahim tertahan, ia sama sekali tak menyangka jika selama enam bulan rumah tangga anaknya betul-betul dijalani dengan cara yang aneh.

.
.
.

"Abah dan ummi sudah pulang?"

Suara Nisa mulai terdengar saat ia membuka mata dan menemukan Hikam yang telah berbaring di sampingnya, menatapnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan. Lalu usapan tangan Hikam di pipinya membuat wajah Nisa memerah karena malu, ia belum terbiasa dengan sentuhan Hikam yang bisa dihitung dengan jari selama menjadi istrinya.

"Yah, kamu tertidur Dik, dan kami nggak mau tidur kamu terganggu, maafkan aku jika kamu tersiksa selama menjadi istriku, tidak ada niatan sengaja untuk menyiksamu hanya hatiku perlu waktu untuk menerimamu."

"Aku memang nggak bisa lembut kayak Kak Ais, adanya aku kayak gini, kalo Kakak memang nggak bisa lupa sama Kak Ais kita bisa pisah baik-baik, biar kita sama-sama lega dan nggak saling menyakiti."

Hikam merengkuh Nisa ke dalam pelukannya untuk pertama kalinya, ia merasakan dentumam jantung Nisa dan pelan mulai terdengar isak Nisa.

"Aku memang nggak pantas jadi istri Kakak, aku aja yang terlalu PD bisa menggantikan posisi Kak Ais, nyatanya nggak kan?"

"Aku akan berusaha membiarkanmu masuk pelan-pelan ke dalam hatiku Dik, nggak mudah memang tapi aku yakin jika kamu bersabar pasti akan bisa."

"Aku sudah bersabar selama enam bulan apa masih kurang?"

💗💗💗

3 April 2022 (01.45)

Dik Nisa, I Love You (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now