Mengapa Aku Harus Menjadi Pemberontak Bodoh?

127 13 6
                                    

TERNYATA, aku memang bodoh!

Tentu saja aku sangat tahu apa itu bodoh. Madam Benedetta, Wali asuhku selalu mengatakan hal itu setiap kali aku melakukan kesalahan kecil di rumah singgahnya. Dan kali ini sepertinya akan menjadi kebodohanku yang paling spektakuler sepanjang sejarah.

Aku tak pernah berniat mempertaruhkan satu-satunya nyawa yang kumiliki dengan mengikutsertakannya ke dalam sebuah permainan berbahaya. Yah, semua yang bernyawa tentu saja akan merasakan mati pada saatnya, tetapi serius deh, aku tidak mau mati dengan cara sekonyol itu. Apalagi jika di saat-saat akhirku nanti malah harus menjadi tontonan epik sekaligus hiburan yang fantastis bagi sekelompok manusia menjijikan di planet ini.

Sungguh, jika bicara soal keselamatan diri, aku tidak sepolos itu. Namun, entah mengapa saat jam makan malam hari ini, tepat saat Madam Benedetta akan menerima gulungan perkamen dengan lingkaran pita emas dari para Picker[1]  yang mengantarkannya, aku ingin sekali melakukan kebodohan itu. Benar. Langkah kecil dari keingintahuan yang mematikan.

Namaku Jasper Adams.

Berdasarkan hitungan waktu di Argent Prime, beberapa jam lagi umurku lima belas tahun. Umur keramat. Itu artinya, menurut hukum yang berlaku, mulai besok namaku tak lagi tercatat sebagai yatim yang berada di bawah pengasuhan Madam Benedetta. Mau tak mau, wanita aneh itu harus melepas kepergianku dari rumah singgahnya ke dunia manusia sesunguhnya dengan penuh kedamaian.

Hal yang cukup sulit untuknya, aku tahu itu, mengingat hanya ada aku seorang yang menjadi anak asuhnya selama bertahun-tahun di sini. Entah apa yang membuat Madam Benedetta selalu menolak kedatangan anak-anak baru itu. Aku benar-benar tak ingin tahu. Aku hanya ingin cepat-cepat keluar dari rumah terkutuk ini saja. Bebas dari tali pengekang yang menjerat urat leherku.

Begini, Madam Benedetta ini wanita separuh baya yang agak sinting. Dia tidak baik, tapi juga tidak jahat. Rambutnya yang gelap selalu dia ikat tinggi-tinggi menyerupai sarang burung tempua, menjadikan wajahnya yang tirus dengan tulang pipi menonjol semakin terlihat menakutkan. Belum lagi ditambah dengan riasan mata hitam dan warna lipstik yang sama gelapnya, aku yakin seribu satu persen orang yang melihatnya pertama kali akan menganggapnya sebagai penyihir yang hobi melahap anak kecil hidup-hidup.

Tinggal satu atap dengannya merupakan mimpi buruk dari yang paling buruk. Aku sama sekali tak memiliki teman bukan karena tak mau, Madam Benedetta yang melarang. Kegiatanku di luar rumah sangat dibatasi. Jika aku ingin berjalan-jalan, seorang Picker antelop akan ikut menemani. Akan jauh lebih buruk lagi saat Madam Benedetta sendiri yang langsung mengawasi ke mana pun kakiku melangkah. Bahkan, aku memiliki jam malam yang sama dengan anak usia tujuh tahun. Sungguh tak masuk di akal. Dan itu sangat tak adil untuk remaja seusiaku.

Entah apa masalahnya. Kurasa bukan karena Madam Benedetta terlalu menyayangiku, tetapi sebaliknya. Wanita ular itu membuat hidupku yang malang menjadi terasa semakin sulit. Dia tak memberiku cukup ruang untuk bergerak dengan bebas. Semakin aku berusaha untuk melepaskan diri, semakin erat pula lilitannya.

"Wah, kau Jasper Adams?" Suaranya mendesis saat menyebutkan nama lengkapku di hari pertama kami bertemu. Kedua matanya yang tajam memandangku lekat-lekat, dari ujung kepala hingga ke kaki, bagai hewan buas yang mengamati calon mangsanya dengan sangat teliti. "Selamat datang di Rumah Singgah Bee. Hari ini, mau tak mau, aku harus menjadi walimu dan kau sebagai anakku. Takdir yang lucu, betul?"

Meski pada akhirnya tersenyum, Madam Benedetta terlanjur meninggalkan kesan yang tak terlalu bagus untukku. Setidaknya sampai beberapa minggu lalu, saat kusadari angka keramatku akan segera tiba. Aku mulai menyibukkan diri dengan memikirkan hal-hal menyenangkan yang akan kulakukan ketika meninggalkan tempat ini. Bahkan, beberapa hari ini aku tak lagi mengeluh dengan menu pengganjal perut, meski yang tersedia di atas meja untuk malam hari ini masih sama dengan saat sarapan tadi pagi. Otakku benar-benar berkonsentrasi penuh untuk hanya memikirkan hal yang baik-baik saja. Hingga sebuah ketukan keras pada pintu pun membuyarkannya ke mana-mana.

The Flare [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now