57. Ketika semua berubah

7 2 0
                                    

~Janji kita berdua yang dulu pernah kita ikrarkan untuk bersatu dalam ikatan cinta harus terpisah dalam alam berbeda. Akankah janji kedua bisa satu untuk selamanya?~

***
Sultan sudah meminta taarufan mereka selesai. Tak mau nanti kesiangan dan terlalu menunggu lama di bandara, Sultan menuntun Robet. Hilda menatapnya sangsi.

Kiyai Usman juga merasa tak enak jika mengganggu keberangkatan mereka. Maka, beliau meminta maaf dan pamit langsung pulang ke rumah.

Sultan menyalakan mesin mobilnya. Mobil siap melaju ke bandara. Robet siap untuk dioperasi. Mata siap untuk melihat luasnya dunia. Selama tiga bulan ini, mereka akan menetap di Singapura. Menanti keberhasilan penglihatan Robet. Masalah pekerjaan, Sultan sudah meminta Daniel menghandle-nya. Masalah jadwal pengajian, Robet sudah mencari penggantinya dari kang-kang lain yang siap mengajar. Masalah pernikahan, mereka serahkan semuanya pada Allah ta'ala. Mungkin hari ini dia belum mencintai. Entah suatu saat nanti. Robet butuh waktu untuk belajar mencintai. Yang pastinya, kejadian pernikahan pertamanya tak ingin terulang yang kedua kalinya. Semoga Hilda adalah cinta terakhirnya. Meskipun demikian, sangat sulit untuk melupakan Imaz, mau bagaimana lagi ia juga tak ingin terus-terusan membuatnya sedih di alam sana.

***
Lebih tepatnya, masa pesantren benang biru tinggal di hotel GreenHouse telah selesai. Ning Dija membayar semua biaya di hotel. Salwa sebagai ketua pondok tak enak hati. Masa iya, yang punya pesantren, juga yang membayar tempat tinggal.

"Sudahlah Ning, pengurus masih punya sisa uang. Biar kami yang menanggungnya." Salwa langsung menyergah.

"Ya jangan begitu Salwa. Pesantren ini kan milik keluarga, jadi yang berhak membayar ya kami. Lagipula, kebakaran itu bukan murni kesalahan kalian. Masa iya, kalian yang menanggung."

"Tapi, Ning...."

"Sudahlah. Simpan saja uangnya. Untung-untung nanti buat keperluan lainnya yang lebih penting." Para santri takjub mendengar pernyataan Ning Dija. Mendadak saja, para santri dijemput orang tua mereka masing-masing.

"Terima kasih Ning, kau sudah bersedia menampung anak-anak kami disini setelah kejadian kebakaran itu," ucap wali santri Cika.

"Iya, sama-sama bu. Jadi, kalian para santri, kami keluarga besar Kiyai Abdul Musthofa dengan kerendahan hati meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kejadian kebakaran saat itu. Sudah sepantasnya kalian pulang ke rumah masing-masing." Ning Dija mengatakan permintaan maafnya mewakili keluarga besar Romo Kiyai Abdul Musthofa.

"Terima kasih banyak Ning..." ucap wali santri dengan seksama di taman hotel. Beliau mengangguk dengan mata yang berbinar-binar. Terharu atas pengabdian yang mereka miliki. Merekapun tak segan mencium punggung tangan Ning-Ning kecuali Ning Fiyyah yang masih di rumah bibinya.

"Aku tidak mau pulang," sahut Salwa, membuat mereka semua menatap ke arahnya.

"Kenapa Sal? Sudah waktunya kau pulang. Lagipula, kau tidak pernah pulang kalau memang ada hal yang terdesak."

"Aku juga" Jesselyn juga ikut-ikutan mengunjuk diri.

Kedelapan putri Romo Kiyai terenyuh melihat dua santri yang masih ingin bersama mereka.

"Kami juga," Bayu dan Cakra juga ikut unjuk diri. Mereka yang dulunya seringkali menyirami Taman Santri. Membuatkan unjukan untuk Romo Kiyai.

"Setelah kejadian kebakaran waktu itu, sudah tidak ada lagi prajurit pesantren. Maka, kami siap menjadi bodyguard Ning-Ning," ungkap Bayu.

"Kami juga siap menjadi Dayang meski pesantren hangus ditelan bumi." Jesselyn menimpal.

Mendengar ungkapan mereka, Ning-Ning pada terenyuh. Pesantren yang dibangun Romo Kiyai dengan nuansa kerajaan karena beliau sangat senang sejarah maka kejadiannya pula mirip dengan kisah runtuhnya kerajaan Singasari akibat tewasnya Raja Kertanegara.

Finding My LoveWhere stories live. Discover now