23. I'll Die

455 30 8
                                    


Nothing.

I live for love even though i can't spend my life with you.”

Travis terdiam sesaat. Ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan dalam tatapannya. Hanya saja Chicago menyadari jika pada akhirnya, dia senang bisa pergi setelah menghabiskan sisa waktu yang dimiliki bersama kekasihnya.

Melalui kisah yang diceritakan, orang tua gadis itu–Erick dan Chica justru kehilangan kewarasannya.

Mereka menggila karena popularitas serta kekayaan mereka tak bisa kembali meski hal gilanya...

Kedua pasangan itu telah mengorbankan putrinya sendiri untuk menjadi korban atas keserakahan manusia yang seringkali membawa mereka tersesat dalam jalan tak berujung.

Erick dan Chica menumbalkan gadis kecil yang seharusnya merasakan kasih sayang orang tua dan dimanjakan orang-orang disekitarnya, bukan dijadikan foto model kurang senonoh dan dipaksa untuk melakukan apapun demi uang.

Namun kedua pasangan itu sempat merasa menyesal lalu membawa Chicago yang mulai terlihat sekarat kepada sebuah keluarga yang sudah menjadi satanic secara turun-temurun.

Menitipkan pada keluarga baru itu berharap putri mereka masih bisa diselamatkan dari para iblis yang menagih janji.

Sayangnya, mereka sudah terlambat...

Chicago meninggal secara tak wajar diusianya yang akan menginjak 10 tahun. Tepat di hari ulang tahunnya saat itu.

Meskipun sebuah keajaiban terjadi. Chicago masih hidup meskipun dia sendiri sudah 'mati'. Dia hidup tanpa raga, tanpa jiwa.

Karena suatu alasan...

Bahwa gadis kecil itu masih tetap menginginkan kehidupan di detik terakhir kematiannya.

Sekalipun dia harus mati lagi.

Travis menggenggam tangannya, “But i hope you don't leave me alone.”

“I promise, i'll never leave you lonely. If i can...” ucap Chicago seraya tersenyum tipis.

Travis dan Chicago berjalan ke dekat bebatuan besar disana. Mereka duduk dengan tangan yang saling berpautan. Dari kejauhan, matahari menunjukkan goresan jingga kemerahan. Dia ingin tenggelam, menghilang dari peredaran.

Keduanya terdiam. Terpaku dalam pikiran satu sama lain. Sementara Chicago mengukir senyuman menatap wajah pria yang memberikan warna pada hidupnya. Satu-satunya manusia yang mampu membuatnya kembali merasakan bahagia.

Sederhana saja, ia bahagia...

Meski semua ini tidak bertahan untuk selamanya.

“Kapan pertama kali kau melihatku?” tanya Travis meliriknya sekilas.

Tawa Chicago mengalun indah ditengah kesunyian itu. “Saat aku terbangun ditengah malam dan melihat seorang pria psycho yang mengenakan hoodie.”

“Apa kau ketakutan saat itu?” Chicago mengangguk.

“Kau harus berubah untuk dirimu sendiri meski hal itu terasa menyakitkan.” ucap Chicago kemudian.

“Chi?”

“Ya?”

“Tidak ada yang lebih menyakitkan selain melihatmu pergi.” balas Travis.

Chicago bersandar di pundak kekasihnya, “Kau tak bisa mencegah matahari terbenam. Kau juga tidak bisa melarang bulan hanya muncul saat malam hari.”

Ada jeda sesaat. “Dan tidak ada satupun manusia yang bisa menghindari kematian jika itu memang sudah ditakdirkan.” tuturnya sembari memandang langit yang tak berujung.

Lagi-lagi keduanya kembali tak bersuara. Sibuk menerka akan berapa lama lagi mereka masih tetap sama seperti dahulu kala sementara gadis itu hanya tersenyum sendu.

Dia hanya mencoba merelakan semua yang terjadi dalam hidupnya...

“Kau tidak marah pada apapun yang pernah terjadi dalam hidupmu?” tanya Travis.

“Emm...aku pernah marah dengan semua hal Travis. Tapi setelahnya aku berpikir jika kemarahan ku tak bisa memperbaiki apapun.”

“Apapun yang kulakukan akan berujung sia-sia karena aku tau waktu tidak pernah bisa dikembalikan sedetik pun.” lanjutnya tanpa melunturkan senyuman.

Chicago bangkit, ia menarik lengan Travis.

Ia berlari sembari tertawa sementara Travis tersenyum tipis lalu mengejarnya. Mereka berlarian mengelilingi tempat sunyi nan tenang itu.

Sesekali Chicago bersembunyi dibalik pepohonan besar disana. Tertawa lepas ditengah sisa waktu yang dimilikinya. Ia menoleh, melihat Travis yang tak nampak disekitar sana.

Chicago kembali berlari seraya memperhatikan sekelilingnya. Samar-samar ia melihat bayangan Travis tak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis itu lalu segera bersembunyi.

Travis menyadari dengan jelas keberadaan Chicago. Pria itu terkekeh. Melangkah pelan menghampiri tempat persembunyian gadis tersebut.

“Hey!!” Chicago memekik saat ia tiba-tiba ditarik dan berada dalam dekapan kekasihnya.

Bersamaan dengan matahari yang tenggelam seutuhnya, mereka berdua saling berpelukan erat. Tertawa lepas meski di satu sisi...

Travis menitikkan air mata dalam tawanya.

ACATHEXIS Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ