Kuhirup udara malam yang sejuk hingga memenuhi paru-paruku. Aku sengaja datang ke pesisir saat langit sudah gelap sepenuhnya. Deburan ombak terasa sangat menenangkan dari pada suara-suara berisik yang ada di kepalaku—sangat mengganggu.
Aku mengedarkan pandanganku. Sangat sepi hanya ada seseorang di sana yang sedang menatapku dengan teduh. Tunggu! Kenapa lelaki itu bisa ada dimana-mana. Apa dia semacam arwah atau apa.
Dia mendekat ke arahku dengan senyum hangatnya.
"Apa ini sebuah kebetulan lagi, Nona?" aku hanya menatapnya dengan bingung.
"Kenapa kau ada di mana-mana?" pertanyaan yang kurang bersahabat itu kulontarkan. Dia tertawa dan mengedikkan bahunya.
"Aku bertanya-tanya, kenapa kita selalu bertemu saat malam hari, Nona? Di taman, di café, dan di pantai malam ini." ucapnya.
"Entahlah." balasku tak acuh.
"Apa yang membuatmu datang ke pantai malam hari, Nona?" tanyanya tampak penasaran. Dia menatapku, menanti jawabanku.
"Hanya merasa terlalu sepi. Setidaknya suara deburan ombak itu bisa meredam suara di kepalaku yang berisik." jawabku. Aku membalas tatapannya. Menelisik pada jelaga hitam yang senada dengan langit malam ini.
"Kau tampak terluka, Nona." dia tersenyum kecil. Mengalihkan pandangannya pada air asin di sana.
"Nona, kau pasti pernah mendengar kalimat 'waktu menyembuhkan luka,' tapi tahukah kau, Nona? Bukan waktu yang menyembuhkan luka. Luka itu tak pernah sembuh seutuhnya. Rasa sakit itu terabaikan hingga sang pemilik terbiasa dengan lukanya." Aku berdecih saat semua yang dikatakannya benar.
YOU ARE READING
Temaram Malam
Poetry"Langit itu sangat gelap, terlihat begitu kesepian. Ia sangat luas walau tak ada apapun disana, bahkan bulan atau bintang. Ia tetap terlihat indah dalam kesepiannya. Menurutmu, apakah itu keajaiban atau kutukan, tuan?" kali ini aku menanyakan penda...