Perkirakan Terlebih Dahulu

1 1 0
                                    

"Babe, aku merindukanmu, apa kamu tak merindukanku?” tanya Jessika membuat Andra merasa mual saat mendengarnya.

“Jika tidak ada yang penting, saya akan memutuskan panggilan ini, Nona. Saya sibuk!” sarkah Andra dengan emosi yang tertahankan.

“DIKA ....” Andra berteriak, menyebut nama Asistennya dari dalam ruangannya.

“Sialan! Orang tua itu selalu saja membuat diriku susah.”

Andra berjalan menuju pintu, langkah panjangnya terdengar sangat nyaring, membuat setiap karyawan yang sedang bekerja menatapnya heran, sekaligus takut.

“Ada apa dengan bos?”

“Entah-lah. Mungkin, dia sedang murka kepada kita karena kita telah mengambil beberapa persen keuntungan perusahaan secara diam-diam.”

Semua karyawan berdiri dengan kepala yang tertunduk, merasa takut dengan aura yang di keluarkan Andra, pandangan laki-laki itu benar-benar dingin.

Brak!

Andra membanting pintu ruangan Dika, membuat Dika yang sedang duduk nyaman di sofa terlonjak kaget.

“Babe, akhirnya, kamu menemuiku juga.” Mata Andra membulat, melihat ke arah Dika dengan heran, meminta penjelasan kepada Andra atas kehadiran Jessika di ruangan Dika.

“Tak ada yang menyuruhmu untuk datang ke ruanganku, Andra. Jadi, kau harus menerima akibatnya, tugasku sudah selesai, selebihnya, kau lah yang bertanggung jawab atas kesalahanmu ini,” ujar Dika dengan wajah datar. Sangat berbeda dengan wajahnya saat ia dan Andra hanya sedang berdua, atau bersama para karyawannya.

“Huh! Dasar, Asisten tidak berguna! Babe, aku sarankan, kamu pecat saja dia itu, dia sangat tidak becus dalam bekerja. Dia telah mengusirku berkali-kali, dia telah melakukan hal yang tidak wajar kepada calon istrimu ini.” Tangan Jessika bergelayut manja di lengan kekar milik Andra, matanya menatap tajam Dika dengan mulut yang di majukan.

“Calon istri? Ha-ha-ha, mimpi!” ketus Dika, membalas tatapan tajam Jessika dengan tatapan yang lebih tajam.

“Lepaskan! Kau bisa pergi sekarang, Nona! Aku harus membahas tentang kerugian perusahaan yang sangat besar dengan Dika. Perusahaanku ini hampir bangkrut,” ucap Andra, melepaskan dengan paksa tangan Jessika yang terus bergelayut manja di lengannya, memberi jarak di antara keduanya.

“Apa maksudmu kerugian, Babe?” tanya Jessika dengan dahi yang mengerut, kedua tangannya ia taruh di sisinya.

“Kerugian yang sangat besar, Nona Jessika. Jika kau tahu, kau akan pingsan detik itu juga,” ucap Dika, menyelak Andra yang ingin membuka mulut.

“Tidak apa, aku mencintai Andra. Sesulit apa pun keadaan Andra, aku akan selalu berada di sampingnya, aku akan menemaninya dalam keadaan sulit sekalipun,” ucap Jessika dengan senyum yang mengembang, matanya berbinar menatap Andra.

“Saya peringatkan sekali lagi, Nona Jessika. Di mohonkan untuk Anda, untuk keluar dari ruangan Asistenku! Kami ingin berbicara hal penting,” ujar Andra penuh penekanan, menunjuk ke arah pintu, masih dengan tatapan dinginnya, ia tak menunjukkan tatapan lainnya di depan Jessika.

“Tapi, Babe ....” Jessika menahan tubuhnya sendiri saat ia di dorong paksa oleh Dika,. Menyeretnya agar segera meninggalkan ruangan Dika.

“Babe ... Babe .... Aku mencintaimu, aku ... aku sangat mencintaimu ....” teriak Jessika dengan sangat kencang, membuat ruangan Dika seketika menjadi pusat perhatian semua karyawan yang sedang lalu lalang.

“Untuk apa kau ke ruanganku, Andra?” tanya Dika to the point, duduk dengan angkuh di sofa, pandangan matanya lurus menatap mata tajam Andra.

“Kenapa kau tak mengatakan jika ada wanita itu si ruanganmu?”

“Perlu kah? Bukankah dia sudah menghubungimu sebelum kau sampai di ruanganku, Andra? Apa kau lupa ingatan?” tanya Dika dengan seringai tipis yang tergambar di wajahnya, menatap remeh Andra yang sudah mengepalkan kedua tangannya di sisinya.

“Itu sangat di perlukan, bodoh! Jika aku tahu wanita itu masih berada di dalam ruanganmu, aku tak akan datang ke sini dan membuang waktuku hanya untuk meladeni wanita murahan seperti Jessika,” jawab Andra.

“Jika Jessika adalah seorang wanita murahan, lalu apa bedanya dengan dirimu yang dulu sangat mendambakan Jessika? Kalian sama-sama murahan!” Dika bersedekap, terkekeh melihat raut wajah Andra yang mulai berubah.

“Masa lalu bukanlah bagian dari hidupku, Dika! Aku hanya mempunyai masa depan!” ucap Andra tegas, membuat Dika kembali terkekeh.

“Ya, ya, ya. Aku tahu itu. Omong-omong, kenapa kau ingin membahas kerugian perusahaan? Memangnya kita rugi?” tanya Dika dengan wajah penasaran.

“Tidak ada, tidak ada apa pun. Semuanya aman terkendali. Itu semua hanya semata-mata agar Jessika segera pergi meninggalkan ruangan ini dan kantorku ini. Aku membenci jika lantai kantorku ini ternoda-i oleh langkah kaki seorang wanita murahan.”

Dika mengangguk, melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul dua siang, waktunya untuk beristirahat.

“Jessika sudah tidak penting dalam hidupmu, kan?” tanya Dika membuat Andra menjadi was-was.

“Iya. Memangnya kenapa?”

“Oke, sekarang, waktunya kau isi perutmu dengan berbagai macam makanan. Memikirkan Jessika tak akan membuat dirimu kenyang!” Dika berlalu meninggalkan Andra, mulai berjalan dengan langkah yang sedikit cepat agar cepat sampai ke Breakout Area.

“Selamat makan, Tuan!” ucap pelayan yang mengantarkan makanan pesanan Dika, membungkukkan tubuhnya di hadapan Dika dan Andra.

Dika hanya membalas dengan senyuman saat pelayan itu telah selesai menyelesaikan kalimatnya. Berbeda dengan Andra, pria itu lebih memilih untuk fokus pada layar ponselnya, tak memedulikan keadaan sekitar yang sudah di penuhi oleh para karyawan yang ingin beristirahat.

Itu artinya, setiap orang yang telah menyelesaikan makanan, di wajibkan untuk bangkit dari tempat duduknya agar karyawan yang baru beristirahat dapat menggunakan tempat yang telah tersedia.

“Besok, temani aku membeli beberapa hadiah untuk seseorang,” ucap Andra dengan santai membuat para karyawan yang mendengar menjadi tersedak akibat perkataan yang Andra ucapkan.

Really?

Kata itulah yang muncul di semua pikiran para karyawan-karyawan yang sedang menghabiskan makanannya.

“Hubungi paman, katakan kepadanya jika aku hari ini tidak pulang, aku lebih memilih bermalam di apartemenku sendiri.”

Dika hanya mengangguk, menghabiskan makanannya yang masih tersisa banyak karena Andra terus mengajaknya mengobrol, membuat waktu makannya sedikit tertunda. Ya, walaupun Dika mengetahui jika itu adalah kesalahan dirinya juga. Seharusnya, Dika yang berperan sebagai Asisten Andra, mengerti aturan ataupun sikap apa saja yang tak di sukai Andra.

"Baik, Tuan. Saya akan mengatakan itu kepada paman Anda setelah saya menyelesaikan makan siang saya," ucap Dika, menghabiskan makanannya dengan sedikit cepat, agar tak membuat Andra terlalu menunggu lama. Itu akan membuat reputasinya sebagai seorang Asisten jelek di mata para karyawan lainnya, dan Dika tak mau hal itu terjadi.

Andra terus memainkan handphonenya dengan tenang, sesekali ia melirik Dika yang masih berusaha menghabiskan makanan yang di pesan sangat banyak oleh Dika.

"Perkiraan terlebih dahulu sebelum memesan, Dika. Kau terlalu bersemangat. Sekarang, nikmati saja makananmu yang sangat banyak ini," ucap Andra dengan ekspresi mengejek, melirik semua makanan yang masih berjejer di atas meja, menunggu Dika untuk memakannya.

Love My Bloom Where stories live. Discover now