[i.] present (1/2)

325 32 10
                                    

Duka; aku mengenal nama itu namun ia bukan teman baikku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Duka; aku mengenal nama itu namun ia bukan teman baikku. Kami bertemu tatap kala sanak saudara mendiang menyambutku dengan senyum lemah ke prosesi pemakaman. Aku mendengar suaranya dalam isakan yang mengiringiku melantunkan lagu kesukaan mendiang dalam aransemen ballad atau akustik. Ia mencekik tenggorokanku, bercampur dengan aroma rangkaian gladioli¹ dan embusan melankoli dalam kungkungan empat dinding.

Panggilan demi panggilan menyanyi di pemakaman dan acara memorial seharusnya membekaliku untuk menghadapi momen ini. Nyatanya, ketika pesan singkat dari Bibi kuterima, aku membeku di balik roda setir.

| Lily, bagaimana kabarmu? Aku tidak tahu cara yang tepat menyampaikan berita ini. Maaf harus melalui pesan.
| Ma dan Pa-mu meninggal tadi pagi.
| Penyebabnya DUI².
| Pemakamannya besok di rumah. Aku harap kamu bisa datang.

Aku memarkir mobil bututku di depan minimarket 24 jam terdekat. Pesan itu aku baca berulang-ulang hingga setiap huruf dan kata tertanam di kepala. Ma dan Pa-mu meninggal tadi pagi. Bagaimana seseorang seharusnya memproses informasi seperti ini? Menangis menjadi-jadi di tempat? Otakku masih sibuk memusingkan uang makan esok hari, sebab aku menolak bayaran dari orang tua Jacob untuk menyanyi di pemakamannya. Jacob itu hanya lebih tua setahun dariku, ia meninggal kemarin dalam kecelakaan beruntun. Sungguh tragis. Kejam rasanya meminta barang seperak dari keluarganya.

Inikah yang orang maksud ketika mereka membicarakan takdir? Aku tak percaya hal seperti itu, namun harus aku akui, mendapat pesan tentang kematian orang tuamu selesai menyanyi di pemakaman adalah kebetulan janggal.

Pesan dari Bibi tidak aku balas. Aku hanya menatap kosong ke layar, mengetikkan oke lalu menghapusnya lagi. Duka menatapku lamat dan mengulurkan tangan, memintaku mengundangnya ke relung jiwa. Di hadapannya, aku malah termangu, bertanya-tanya apa yang seharusnya aku rasakan. Reaksi apa yang tepat? Ajari aku berduka!

Media dan teman sebaya mengajariku menghadapi situasi buruk dalam kehidupan dengan menguras kantung air mata. Atau mogok makan selama seminggu dan menekuk wajah setiap teringat tentang hal tersebut. Orang tuaku mencuci situasi buruk dengan minuman keras, melarikan diri dari realita sesaat sambil terlelap di sofa atau lantai dapur. Aku sendiri kesulitan membedakan kebahagiaan dan kemuraman, langganan keluar masuk kantor terapis psikologi sejak usia 12 tahun. Mungkin aku cacat, mungkin beberapa kabel di kepalaku putus, walau aku tahu bukan begitu cara kerja otak manusia. Aku tidak bisa menemukan duka di antara rumput liar yang memenuhi kebun emosiku.

Bagai menyusut kembali menjadi bocah, kuputuskan untuk mengemulasi orang tuaku; pergi membeli dua kaleng bir. Botol Zoloft³ di dasborku seolah melirik tajam penuh ketidaksetujuan, aku membalasnya dengan decihan tak acuh. Bulan depan aku tak mampu membelimu lagi, jadi masa bodoh.

Setelah membeli bir, aku kembali ke mobil. Kaleng pertama kuhabiskan dalam beberapa tenggak. Jemariku baru menyentuh pull tab kaleng kedua ketika sebuah ide menarik fokusku ke ponsel. Aku memutuskan untuk merangkak menuju satu-satunya tanda kenormalan dalam hidupku: pacarku, Heather. Tak sampai sepuluh detik ia mengangkat teleponku, suaranya serak khas bangun tidur. Tebakanku ia berkutat dengan tugas-tugas kuliah lagi. Heather tak suka menunda, ia lebih suka mengerjakan semuanya di awal dan bersantai di akhir pekan. Aku lebih suka bermuram durja di atas ranjang sampai rasa bersalah menendang keras bokongku.

calla lilies in our backyard ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang