0.1

153 19 9
                                    

"Taehyung!" Panggil Chaeyoung yang tergesa-gesa setelah berlari keluar dari mobilnya untuk mengejar Taehyung yang kebetulan sedang berjalan sendirian disana. Melihat sepatu hak yang dikenakan Chaeyoung cukup membuat Taehyung meringis nyeri sebab sangat tinggi. 

"Chaeyoung! Aku mencarimu dimanapun. Gila, lega sekali bisa menemukanmu," ujar Taehyung sambil membalas pelukan Chaeyoung. "Aku sudah bilang aku berada di Amsterdam, kenapa kau mencariku di Den haag, dasar bodoh." Chaeyoung melepaskan pelukan mereka.

"Kurasa faktor utamanya aku tidak mengenalimu karena kau sangat berbeda dari terakhir kali kita bertemu," ucap Taehyung yang memandang Chaeyoung kagum, terpesona karena menurutnya penampilan Chaeyoung sangat berbeda.

"Apa hal yang begitu berbeda dariku?"

"Kau sangat cantik," ucap Taehyung masih terpesona.

"Aduh, simpan saja kata-kata manismu itu." Chaeyoung tertawa memukul lengan Taehyung main-main. Taehyung tersenyum lebar, menampilkan senyum kotak andalannya.

"Aku sangat merindukanmu." Taehyung mengusap bahu Chaeyoung yang berbalut mantel.

"Aku juga." Chaeyoung mengelus lembut tangan Taehyung yang berada dibahunya. "Aku telah mendengar penolakan Jennie untukmu, aku minta maaf atas kakakku."

"Tidak perlu minta maaf, Jennie mempunyai hak untuk menolakku."

"Jangan terlalu kecewa. Aku yakin Jennie hanya tidak menyadari perasaannya untukmu." Chaeyoung tersenyum lembut. "Tinggal selama dua puluh tahun bersamanya membuatku hafal karakternya diluar kepala. Dia memang selalu terlambat menyadari perasaannya."

"Terima kasih."

"Apa kau punya acara malam ini?"

"Hmm, kau tahu betul acara malamku hanya makan dan tidur sambil menonton film."

"Datanglah ke pertunanganku, diadakan malam ini dirumah bibi Florie." Chaeyoung menatap penuh harap. "Hanya kau yang ada disini, semua keluargaku ada di Korea. Aku sangat berharap ada orang terdekatku yang datang untuk melihat pertunangan aku dan Frederik."

Taehyung tersenyum tipis kemudian mengangguk pelan.

"Aku akan sangat marah jika kau terlambat datang," teriak Chaeyoung yang kembali berlari menuju mobilnya yang tadi ia parkir sembarangan dijalan, takut ada polisi yang lewat dan menciduknya.

"Aku akan terlambat!" balas Taehyung.

"Dasar alien gila."

________________________

Diperpotongan antara malam dan pagi hari ini—tanggal dua puluh dua bulan Januari tahun dua ribu dua puluh—Jennie Lee mencegah konsentrasinya terpecah, memelototi sepetak kertas yang berisi garis-garis teratur bergambar rumah. Kantuk menyerang, menerjang mata yang sudah memerah karena tidak terpejam dari sehari yang lalu. Mulutnya yang menguap langsung diberi asupan kafein lagi dan lagi. Tidak terhitung berapa kali tungkainya berjalan menuju kearah dapur untuk membuat kopi, Jennie tidak peduli. Yang dia pedulikan hanyalah bagaimana desainnya bisa selesai diwaktu yang telah ditetapkan.

"Jennie, tidurlah dulu. Kau terlihat menyeramkan." Lalisa Lee, anak gadis bungsu keluarga Lee berujar mengingatkan dengan tajam. Bukan manifestasi dari kebencian, namun aktualisasi dari rasa khawatirnya melihat kakak keduanya yang terus menunduk melihat kertas dari sehari lalu, seakan kertas tersebut akan lari jika Jennie melempar pandangannya kearah lain.

"Berhenti menyuruhku tidur Lalice, kau tidak tahu bagaimana kejamnya si Park jika dia tahu desain yang dimintanya belum aku selesaikan," jawab Jennie tanpa melihat kearah Si Bungsu.

"Setidaknya sempatkan waktumu untuk istirahat Jen, si Park yang selalu kau sebutkan itu juga pasti akan memarahimu lagi karena penampilanmu yang seperti nenek sihir. aku hanya tidak mau kau sakit." Lalisa menurunkan vokalnya, sedikit melembut agar si gadis kucing keras kepala ini mau mengerti.

"Aku akan tidur sedikit lagi, aku berjanji."

Wanita itu tidak lagi menumpu pandangannya kearah kertas, dia memandangi adik kecilnya sambil mengangkat dua jarinya membentuk tanda peace. Terdengar suara embusan nafas kasar dari arah Lisa. Si rambut poni itu sepertinya sudah lelah bolak-balik mengingatkan Jennie tanpa ada perubahan berarti.

"Aku akan mengawasimu. Jika dalam satu jam kau tidak beranjak dari kertas sialanmu, aku akan membuangnya seperti yang dilakukan Rosie sewaktu dulu."

"Aku merindukannya," ucap Jennie yang akhirnya bangun dari kursinya kemudian merebahkan diri kearah ranjang. "Ah, aku rindu menidurimu ranjangku sayang." Kepala Jennie dipukul pelan membuatnya mengaduh sepersekon kemudian.

"Aku juga merindukan Rosie. Apakah dia baik-baik saja di Paris?" setelah bibir Lisa mengatup, Jennie memutar tubuh kearahnya, membuat mereka berdua saling berpandangan diatas ranjang.

"Apakah tubuhnya sudah lebih tinggi dari kita?" tanya Lisa retorik. Baik Lisa maupun Jennie tidak tahu seperti apa gatra Rosé yang telah pergi mengenyam pendidikan selama tujuh tahun kurang sehari. 

"Kurasa lukisannya sudah layak untuk dipajang dimuseum Louvre. Dia belajar keras selama ini."

"Kurasa dia sudah berpacaran dengan lebih dari lima puluh pria," gumam Lisa yang tahu persis sifat kakak ketiganya itu.

"Kalian ini pikirannya hanya pria saja," Jisoo, si sulung keluarga Lee menginterupsi, masuk kedalam kamar Jennie sebab terusik dengan percakapan kedua adiknya.

"Jisoo, kami merindukan Rosie..." Lisa beranjak memeluk Jisoo.

"Aku mencuri dengar kata mama jika Rosie akan pulang beberapa minggu lagi." Jisoo memelankan suaranya.

"APA?" Jennie dan Lisa berteriak bersamaan.

"Benarkah Chu?" Jennie menggoyangkan tubuh Jisoo pelan, meminta kejelasan.

"Ya, mari kita lihat saja benar atau tidaknya."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 10, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

InnamorareWhere stories live. Discover now