Tujuh

2.9K 490 302
                                    

Update nih, jangan lupa votement!!









Dua hari yang lalu, Jelilah memutuskan pergi dari rumah untuk sementara waktu. Ia akan kembali ke rumah orang tuanya. Jillian terkejut melihat sudut bibir putrinya terluka. Mau tidak mau, Jelilah harus berbohong, mengatakan bahwa ia tidak sengaja terjatuh hingga membuat sudut bibirnya terluka.

Pagi ini, Jelilah sedang duduk di sofa ruang tamu, berdua dengan sang ayah. Menyandarkan kepalanya di bahu Liam sambil menatap televisi yang tengah menyala.

"Sudah tiga hari kamu di sini, suamimu tidak marah?" tanya Liam tiba-tiba.

"Tidak, aku sudah izin padanya," sahut Jelilah.

Liam mengelus kepala Jelilah lembut. "You can lie to anyone, but not to me."

Jelilah diam, sejak dulu memang ayahnya ini tidak bisa dibohongi.

"Ayah tidak berhak ikut campur karena ini masalah rumah tangga kalian. Tapi, kalau kamu meminta ayah turun tangan, ayah akan langsung bertindak," lanjut Liam.

"Aku tidak apa-apa, Yah... tidak ada masalah, kami baik-baik saja." Jelilah masih berusaha menutupi.

Liam menghela napas panjang. "No one can hurt my daughter."

Jelilah tersenyum tipis, menyamankan pelukannya pada sang ayah. Namun, tiba-tiba perutnya terasa mual lagi. Jelilah buru-buru berlari ke dapur, menuju wastafel dan muntah-muntah di sana. Liam mengernyit heran, mengendus aroma tubuhnya sendiri, memastikan tubuhnya bau atau tidak lalu mengikuti putrinya ke dapur, membantu mengurut tengkuk Jelilah.

Jillian yang hendak memasak pun terkejut melihat putrinya yang tiba-tiba datang dan muntah-muntah.

"Kamu hamil, Nak?" tanya Jillian langsung.

Jelilah mengangguk pelan lalu membasuh mulutnya. "Iya, Bunda."

"Alhamdulillah," gumam Jillian lalu mendekat dan mengelus perut Jelilah. "Berapa bulan? Sudah cek ke dokter?" tanyanya.

Jelilah menggeleng. "Belum, aku hanya melakukan tes dengan testpack dan hasilnya positif, aku juga tidak tahu berapa usianya."

"Ya ampun, ayo, biar bunda periksa dulu." Jillian menarik lengan putrinya, mengajaknya ke kamar. Memeriksa kandungan Jelilah dengan perlengkapan dokter yang ia punya. Ia juga menanyai kapan terakhir kali Jelilah menstruasi untuk menghitung usia kandungannya.

"Usianya sudah masuk satu bulan, apa Jibril sudah tahu?" tanya Jillian.

"...." Jelilah terdiam sebentar sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Sudah...."

"Syukurlah... masa-masa kehamilan seperti ini lebih baik jika didampingi oleh suami. Kamu tidak merindukan suamimu, hm?"

Jelilah tersenyum tipis. "Aku masih ingin bersama Bunda dan ayah."

"Biarkan dia di sini dulu sementara waktu," timpal Liam yang baru masuk ke dalam kamar. "Lebih lama juga tidak apa-apa," lanjutnya.

"Tapi dia punya suami, Sayang," ujar Jillian.

"Tidak masalah kalau dia ingin berlama-lama di sini," sahut Liam sembari mengelus rambut putri tunggalnya.

"Aku akan pulang beberapa hari lagi, mungkin," gumam Jelilah.

####

Lima hari sudah Jelilah tinggal di rumah kedua orang tuanya tanpa mengirim kabar pada Jibril. Suaminya itu selalu menanyakan kapan Jelilah pulang, namun Jelilah tidak pernah merespon. Ia juga melarang suaminya itu menjemputnya. Sampai suatu ketika, Jibril mengabarkan kalau dirinya sedang sakit dan mengancam tidak mau makan kalau istrinya itu tidak pulang. Hingga mau tidak mau, Jelilah harus pulang saat itu juga.

Air Mata Jelilah ✓Where stories live. Discover now