Duka

3.8K 801 39
                                    

Duka masih menyelimuti Theodoric seusai Raja mereka gugur dalam peperangan. Negeri indah itu seketika ditutupi kabut tebal nan gelap. Layaknya hati para penghuni negeri yang dilanda kesedihan mendalam, cuaca sangat menggambarkan suasana yang tengah berkabung.

Taeyong memandang negerinya dari atas kastil. Angin berhembus begitu lembut seakan membelainya, memberikan kekuatan pada sosok yang baru saja kehilangan. Seusai upacara penghormatan terakhir, dan pemakan sang suami, Taeyong tak bicara pada siapapun.

Kala mendengar kabar bahwa prianya gugur dalam peperangan dunia Taeyong luruh. Tapi tak setetespun air mata mengalir keluar dari netra indahnya. Taeyong paham jika suatu saat pasti ia akan mengalami hal ini, perpisahan pasti akan datang, dan sebagai seorang istri dari pemimpin negeri ia tidak boleh menunjukkan kelemahannya.

“Suamiku gugur dalam memperjuangkan negeri. Seharusnya aku berbangga diri, bukan malah menangisi kepergiannya meskipun duniaku tak sama lagi setelah itu”

Sebagai seorang ratu dari negeri yang begitu diandalkan oleh rakyatnya, Taeyong tidak bisa jatuh melemah. Ia harus tetap berdiri tegap meskipun kakinya bergetar kuat. Ada kegelapan di dalam hatinya, tapi Taeyong mencoba untuk mengenyahkan segalanya.

“Ibunda.. ”

Taeyong memejamkan matanya mendengar suara sang buah hati yang sarat akan kesedihan. Taeyong mencoba menguatkan dirinya di hadapan Jeno. Ia harus tegar demi putra satu-satunya yang ia miliki sekarang, dan demi negeri ini.

Taeyong berbalik menyambut sang buah hati dalam sebuah pelukan hangat. Pelukan erat yang bermakna saling menguatkan. Ia tahu putranya juga begitu terluka.

“Berhenti mencoba kuat ibunda, kau bisa menangis di hadapan putramu. Aku bukan orang asing”

Taeyong melepaskan pelukannya. Ia menatap lekat si permata hati. Diusapnya rahang tegas Jeno yang serupa dengan milik suaminya.

“Kenapa ibu harus menangisi sesuatu yang ibu tau pasti akan terjadi? Ini adalah resiko ibu ketika menjadi pendamping seorang pemimpin negeri nak”

Jeno tahu ibunya kini tengah menyembunyikan kesakitan yang dalam di lubuk hatinya. Taeyong mungkin bisa bersikap seolah tegar di hadapan orang lain, tapi di hadapan Jeno ia tidak bisa berbohong. Jeno dapat melihat semuanya di dalam mata sang ibu.

“Ibu, jika memang semua menyakitkan tidak apa untuk meluapkan semua rasa sakitmu. Aku ada di sini, aku akan mendampingi mu”

“Ibu tidak berbohong nak, semua memang terasa begitu menyakitkan. Dada ibu sesak, dunia ibu luruh dalam waktu yang singkat. Tapi ibu tidak bisa melupakan bahwa di separuh dunia yang luruh itu, ibu masih memiliki mu. Semua memang tidak sama lagi, tapi kau masih bersama ibu, dan kau lah kekuatan ibu”

Taeyong mengusap sayang kepala putranya. “Semua sudah tertulis menjadi takdir ibu. Ayahmu akan tetap hidup di hati ibu, dan sekarang giliran mu nak. Ayo bangkit, dan selamatkan negeri mu. Theodoric butuh pemimpin”

Jeno terdiam, Taeyong benar. Ia tidak boleh terlalu larut dalam kesedihan. Theodoric harus segera ia kendalikan, dan keadaan harus cepat pulih. Tapi tetap Jeno tidak bisa berbohong bahwa lukanya sangat besar.

Penyesalan, dan rasa bersalah masih mendominasi hatinya. Jika ia tidak terlambat dan memperhatikan sang ayah, mungkin pemimpin negeri itu masih berada di sini. Jika saja Jeno bisa menemukan Guanlin lebih awal, pasti semua ini tidak akan terjadi. Jeno masih menyalakan dirinya sendiri.

Tangan Jeno digenggam oleh telapak Taeyong yang lembut. Seolah menghantarkan energi pada Jeno, Taeyong memberikan senyuman pada sang buah hati.

“Jeno, kau boleh meniru ayahmu dalam memimpin negeri ini. Tapi ibu minta satu hal padamu, jangan tiru kebohongan dan pengkhianatan yang ia lakukan. Bukan hanya ibu yang sakit, tapi semua orang merasakan lukanya. Kelak, jangan sembunyikan apapun dari seseorang yang kau cintai”

Amour Éternel [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now