6

8.7K 38 0
                                    

"Aaaah!!!"

"Enggghhhh... iya, Sayang... kau suka?"

Tilly menjerit. Suaranya membuatku semakin bergairah. Penisku berkedut kencang mendengar lolongannya. Aku tak tahan lagi ingin membebaskannya dan menggesekkannya di belahan kelamin Tilly yang begitu basah dan lengket di jariku, tapi reaksi Tilly yang begitu mentah dan amatir menerima rangsangan memaksaku untuk menahan diri. Aku ingin melihat reaksi yang lebih gila lagi.

"Ouuuh... Taaay... please... jangan lagi, aaah... ahhh!" ratapnya, sementara jariku bermain lebih lincah di seputar liang sanggamanya, sesekali menggetarkan klitorisnya. Tilly mengejang, pinggul dan bokongnya menukik tinggi seiring liarnya jariku yang mengacak-acak area pribadinya. Dia mengucur semakin deras seperti mentega yang dilelehkan. Aroma kewanitaannya mulai pekat membelai indra penciumanku. Aku begitu tergoda untuk turun ke bawah sana mempertemukan lidahku dengan cairan manis itu dan menelan seluruhnya.

"Oh... Tilly...," bisikku. "Kau benar-benar manis, Sayang... seperti yang kubayangkan... uh... uh... nikmatilah, Sayang... ummmh...."

Tilly tidak lagi menahan pergelangan tanganku. Dia menjambaki rambutku, menarik-narik seprai di sekitarnya. Tubuhnya menggelinjang resah tertahan lenganku yang menggagahi isi celana dalamnya. Dadanya memantul-mantul indah, menggesek-gesek lenganku dengan kulitnya yang lembut. Mulutnya mendesah-desah dalam ciumanku, ingin melepaskan diri, tapi aku terus menjejalinya dengan lidahku. Aku memakan rakus mulut kecilnya yang laun terasa asin terkena linangan air matanya, sekitar bibirnya berlumuran ludah. Setiap kali aku melepas ciuman untuk menatap ekspresinya, aku hanya ingin membasahinya lagi. Aku ingin membasahi seluruh tubuhnya dengan lidah dan ludahku. Oh Tilly... semakin ia menangis, darahku semakin bergolak, gairahku siap meledak. Aku semakin ingin mengerjainya.

Kepalaku menunduk melihat ke bawah saat jariku tercabut dari dalam celana dalamnya. Aku tertegun sendiri melihat betapa lengketnya jariku dan itu membuat jantungku berpacu semakin cepat. Tilly bernapas terengah, dia ikut-ikutan menunduk dan menangis melihat jariku. Aku menghiburnya dengan ciuman dan belaian di dadanya yang padat dan indah, lalu aku turun lebih ke bawah, menjejali mulutku denga putingnya yang bengkak, sambil memelorotkan celana dalam mungil itu dari pinggulnya.

"Ah, jangan... Tay... ah...," katanya, mempertahankan celana dalamnya yang sudah melorot.

"Mmmpphhh... mppph... mmmppph...," aku terus menjilat dan mengulum dadanya, mengisapnya kencang. Tanganku terus menarik karet celana dalam Tilly hingga akhirnya dia menyerah. Celana itu lucut dari kakinya dan hanya tersangkut di sebelah mata kakinya.

Aku melirik ke bawah. Mataku membuka takjub menyaksikan kemulusan kewanitaan Tilly di bawah sana. Rambut-rambut tipis menghiasi pipi vaginanya yang gemuk dan menggemaskan. Sementara lidahku terus menari di puncak payudaranya, jari-jariku membelah daging lembut itu dan menyibakkannya lebar. Jari tengahku menyundul liangnya yang basah namun rapat, kutekan, Tilly tersentak dan mencoba menutup pahanya, tapi aku lebih cepat menahannya dengan kakiku. Tilly menangis lebih kencang, memukuli pundakku.

"Hssst... Tilly... hssst...," bujukku. Aku berguling di atas tubuhnya dan menindihkan tubuhku rapat menimpa tubuhnya. Napas Tilly tertahan, ia terisak. "Sayang... percayalah padaku... aku tidak akan menyakitimu," kataku. Kubelai rambutnya dan kubuka bibir kecilnya dengan jariku. Tilly berpaling. Aku menarik dagunya lagi supaya dia menatap mataku. "Tilly... aku menyayangimu... biarkan aku menyentuhmu...."

"Tay... kau... kau jahat...," katanya terisak. "Kau pacar Lily... tapi kau memperlakukanku seperti ini."

"Lily sudah memintaku menjagamu, Tilly...."

"Kau bohong... Lily sangat mencintaimu... dia tidak mungkin—"

"Lily akan meninggalkanku malam itu, malam sebelum paginya dia pergi dari kita.... Kau tak percaya?"

Tilly menggeleng.

"Dia akan pergi ke California mengejar mimpinya sebagai aktris—"

"Tidak mungkin. Itu tidak mungkin. Mom dan Dad sudah berhasil membujuknya supaya melanjutkan studi di bidang lain. Lily sudah setuju...."

"Kau tahu Lily... dia tidak suka keributan. Dia akan berkata iya, tapi kemudian melakukan semua hal yang disukainya. Apa kau mau mengingat-ingat bersamaku?"

Tilly terdiam.

Sementara itu, aku mengangkat tubuhku dan diam-diam melepaskan kait ikat pinggangku karena penisku terasa semakin sesak di dalam sana. Tilly yang sibuk menangis dan berpaling dariku tak tahu bahwa kini pahanya sudah bergesekan langsung dengan paha telanjangku. Aku memelorotkan boxerku dan mendesah lega, batang kejantananku kini bebas. Dia menegang kencang dan berkedut hebat seolah kepala penis itu memiliki hidung dan bereaksi pada aroma kewanitaan Tilly yang begitu mengundang.

Aku menciumi pipinya, mengucupi bibirnya. Tangis Tilly mereda, matanya bengkak. Setelah air mata yang berlinang di pipinya kuhapus dengan lembut, dia mendengarkanku bicara dengan lebih tenang, "Kau ingat acara kemah satu tahun lalu? Apa Mom dan Dad setuju?"

Tidak. Mr. dan Mrs. McCall sangat ketat menjaga putri-putri cantik mereka. Mereka tak tahu, semakin ditentang, sudah menjadi naluri remaja untuk diam-diam melawan. Lily membawa Tilly menyelinap melompati jendela pada malam kemah itu, aku yang menunggu mereka di halaman belakang dengan truck-ku, lalu kami pulang sebelum fajar menyingsing. Aku bercinta dengan Lily di danau sementara Tilly kami titipkan pada kawan-kawan sebayaku mengelilingi api unggun, terlalu mabuk untuk peduli bahwa di sana ada anak di bawah umur.

"Apa Lily menjagamu dengan baik setiap kali Mom dan Dad pergi date night setiap akhir pekan?"

Tidak. Lily akan mengajak Tilly duduk bersama kami menonton film yang belum seharusnya ditonton anak seusia Tilly. Kemudian, di tengah film, anak itu harus pura-pura tak peduli sementara aku dan Lily bercumbu.

"Apa Lily menjemputmu setiap hari Rabu?"

Tidak. Aku yang menjemput Tilly setiap hari Rabu dari klub renang karena Lily harus datang ke kelas drama yang sudah lama ditentang Mr. McCall gara-gara Lily pernah tertangkap basah minum-minum bersama mereka di sebuah bar.

"Sekarang... Tilly... apa kau percaya padaku? Aku menyayangimu... aku ingin memilikimu...."

Tilly masih terisak, tapi tubuhnya melunak. Saat aku menciumnya sekali lagi dan kecupanku terus menyusur ke bawah menjajaki leher dan tulang belikatnya, lalu dengan hati-hati menanggalkan kaus kecilnya hingga ia sepenuhnya telanjang, dia menurut dengan patuh. 

Lanjutkan baca cerita ini di akun KaryaKarsa gue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lanjutkan baca cerita ini di akun KaryaKarsa gue.
Link ada di bio wattpad gue, ya

Cerita ini judulnya Taylor and Tilly di KaryaKarsa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Cerita ini judulnya Taylor and Tilly di KaryaKarsa. Ada 50 part. Lu bisa baca satuan (per Lima part), atau langganan paket semua part hanya 100k. Juga bisa download pdf-nya dengan harga 100k.

Cari di kategori Taylor and Tilly

My Sister's Boyfriend (TAYLOR AND TILLY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang