16. Yang Terakhir

987 153 14
                                    

"Ayah?"

Gumamnya lirih nyaris tak terdengar. Ditatapnya sendu pria paruh baya yang duduk bersama gadis kecil sembari memainkan gitar kesayangannya. Kirani terdiam ketika sadar kalau gadis tersebut adalah dirinya. Juga saat itu ia lantas teringat, kalau momen ini adalah salah satu kenangan masa kecilnya.

"Ayah..." Ucapnya sekali lagi, ajaibnya Adinata dari kejauhan langsung mendongak ke arahnya. Beda dengan gadis kecil yang terus bernyanyi seolah tak melihat apapun.

Keduanya berpandangan, dalam diam namun terasa begitu nyaman. Apalagi sewaktu Adinata mengembangkan senyum lalu merentangkan tangan, meminta Kirani untuk berhambur diantara lengan kokoh itu, menariknya agar tenggelam dalam peluk figur yang sempat menghilang bertahun lamanya.

Kirani menangis, amat terisak seraya mencengkram kuat baju sang ayah. Dadanya nyeri namun darahnya berdesir hangat di waktu bersamaan. Sensasi aneh yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Ayah... Ke mana aja?"

"Ayah di sini, nunggu kamu."

"Kenapa di sini?"

"Mungkin karena ini tempat favorit kamu dulu?"

Kini Kirani bersimpuh di hadapan Adinata. "Ayah, Kirani capek ... Kirani butuh Ayah."

"Maafin Ayah. Mulai sekarang Ayah bakal jagain Kirani dan nggak ninggalin dia ke mana pun. Ayah akan selalu ada buat Kirani, kapan pun dia butuh."

Ujarnya teruntuk gadis kecil yang kini berlarian mengejar kupu-kupu. Kirani kebingungan tentu saja. "Ayah ... ini Kirani yang butuh Ayah sekarang ... bukan dia ...."

"Oh ya?" Adinata tersenyum simpul, tangannya mengusap kepala Kirani dewasa yang tak berambut itu. "Tapi Ayah rasa, Kirani kecil lebih butuh Ayah. Kalau Kirani yang ini, sudah ada pelindung yang lebih baik."

Dan Kirani kembali berkaca-kaca, ia tahu siapa yang ayahnya maksud. "Tapi, Ayah mau ke mana?"

"Bukan Ayah, tapi kamu yang harus pergi."

Kirani makin bingung, pikirannya kalut mendengar kata pergi, yang berarti salah satu dari mereka akan ditinggalkan lagi. "Nggak mau! Aku mau ikut Ayah."

"Ayah pasti nunggu kamu. Tapi, bukan sekarang. Belum waktunya."

"Aku nggak mau ninggalin Ayah. Aku nggak mau pisah sama Ayah lagi."

"Mama, Kun, sama Naka akan lebih sedih kalau kamu ninggalin mereka."

Kirani menggeleng kuat dan mengeratkan peluknya. Entah mengapa ia merasa ini akan jadi yang terakhir dirinya melihat Adinata. Sosok yang hatinya sembunyikan dari dunia. Yang teramat ia sayangi namun tak pernah ditunjukkan pada seorangpun. Yang dirindukan namun teredam oleh kebencian. Adinata masih jadi luka terdalam yang pernah Kirani rasakan, walau begitu, Kirani tak ingin melepasnya.

"Kirani, mau janji sesuatu ke Ayah?" Adinata berucap. "Janji jangan pernah berpikir untuk menyerah, seburuk apapun keadaan. Karena semua hal buruk yang menimpa kamu itu asalnya dari keraguanmu sendiri. Semua ketakutan dan rasa putus asamu ... itu belum tentu adanya."

"-berjuang, Nak. Hidupmu berharga bagi seseorang."

Lalu seberkas cahaya perlahan muncul dari ranting dan dedaunan yang melindungi keduanya. Kirani membisu menatap sang ayah yang perlahan membaur dengan cahaya itu. Adinata tersenyum dan melambai singkat sebelum sinar kian terang hingga menyentak Kirani dengan begitu keras.












"360 joule, all clear."

"Shock on three. One, two, three!"

Tubuh rentan itu kembali tersentak. Suara alat kejut jantung dan rentetannya membuat suasana dalam ruangan diselimuti ketegangan luar biasa. Beruntung, setelah dilakukan CPR detak jantung akhirnya terlihat. Dokter menghela napas, mengucap syukur karena atas ijin-Nya pasien ini masih diberi kesempatan untuk kembali.

look how we've grownWhere stories live. Discover now