7

1.7K 260 27
                                    





Renjun tidak langsung meluruskan lagi pandangannya, menghabiskan beberapa waktu untuk terbiasa dengan rasa sakit dari pukulan Donghyuck yang mengenai tepat tulang pipinya. Di saat yang sama dia juga sadar kalau pukulan yang baru dia terima tidak sebanding dengan luka yang dulu dia beri, maka itu Renjun menyiapkan diri untuk pukulan lain yang mungkin akan datang.

Tapi bahkan saat matanya kembali diarahkan pada Donghyuck, orang di hadapannya itu hanya bergeming melihatnya. Sekilas Renjun melirik tangan Donghyuck yang masih terkepal, buat dia jadi bertanya-tanya apa yang menghentikan teman kecilnya itu dari dorongan yang mungkin sekarang sedang dia tentang.

"Itu bukan buat ngebales," lirih Donghyuck pelan, merujuk pukulan yang dia beri pada wajah Renjun beberapa saat lalu. "Itu buat nyadarin lo biar gak main-main sama apa yang lo ucapin."

Renjun mengernyit, tidak bisa membayangkan seberapa dalam luka yang dulu dia goreskan sampai membuat Donghyuck membangun defense yang dingin dan tebal. Tapi dalam hatinya Renjun merasa Donghyuck layak untuk meragu, Donghyuck pantas punya beribu alasan untuk mempertanyakan apa yang sekarang Renjun insinuasikan.

Karena dulu Donghyuck melampaui garis semu itu seorang diri, memberanikan diri untuk menyuarakan apa yang dia rasa karena harapan yang mungkin Renjun buat, hanya untuk dipatahkan lagi oleh orang yang sama.

Renjun lalu mengambil satu langkah mendekati Donghyuck, menatap langsung ke dalam sepasang iris milik sahabat lamanya itu untuk menembus garis yang selama ini membatasi mereka.

"Main-main sama apa yang gue ucap?" tanya Renjun mengulangi apa yang teman kecilnya itu sangka.

Kening Donghyuck masih sama mengerutnya, menampakkan bagaimana bising dan pelik isi kepalanya saat ini. Beberapa detak jantung terlewati dalam diam, tapi Renjun tetap menanti Donghyuck untuk kembali bersuara.

"Gak cuma apa yang lo ucap," koreksi Donghyuck pada terkaannya. "Tapi juga apa yang lo lakuin. Kita bukan lagi anak kecil yang jalan gak tentu arah, sekarang harusnya kita udah sama-sama paham gimana satu kata atau tindakan bisa berakibat apa."

Renjun tetap terdiam, mencoba untuk menelaah rangkaian kalimat Donghyuck yang masih begitu skeptis terhadapnya.

Donghyuck lalu melanjutkan, "Dulu kita mungkin sama-sama naif. Tapi kalau sekarang lo masih careless sama perkataan dan tindakan lo, lo gak bisa lagi pake kartu naif lo, Jun."

"Careless gimana sih, Hyuck?" tanya Renjun yang lalu memiringkan kepalanya untuk menekankan kebingungannya, gagal memahami apa yang Donghyuck maksud. "Sejak kita ketemu lagi, lo yang menghindar dan gak kasih gue kesempatan buat mastiin—"

Renjun berhenti di tengah rentetan kata yang keluar dengan sendirinya, mendadak lidahnya kelu karena tidak mampu mencari kata yang bisa dengan benar menafsirkan maksudnya. Tapi di saat itu justru kerlingan di mata Donghyuck semakin redup, seakan dia baru saja menkonklusikan jeda yang Renjun buat.

"Kalau lo mau mastiin perasaan gue ke lo udah lenyap, lo gak perlu mancing dengan pura-pura cemburu liat orang lain deket sama gue, gak perlu lah lo jebak gue buat berdelusi kalau lo punya rasa ke gue," tegas Donghyuck, terdengar menahan agar amarahnya tidak meluap sepenuhnya.

"Gue tadi cuma nanya kenapa lo bohong kalau lo gak naksir Joy, karena apa yang lo ucap dan lakuin tuh berbanding terbalik, Jun. Sama kayak dulu lo mupuk harapan buat gue, tapi ujung-ujungnya justru bilang kalau apa yang gue rasa ke lo itu konyol."

Kemudian seperti ada dentuman yang menggema di kepala Renjun, hatinya semakin terasa berat waktu dengar dari Donghyuck kalau dulu dia melontarkan kata konyol setelah temannya itu mengungkapkan perasaannya, tanpa tahu seberapa berat dan panjang perjalanan Donghyuck sebelum mencapai keyakinan untuk menyuarakan isi hatinya. Dan di atas itu semua, Renjun bahkan memukulnya saat itu, memberi luka lengkap pada hati dan fisiknya.

121UWhere stories live. Discover now