Prolog

6 0 0
                                    

Gue sekali lagi menatap pantulan diri gue di kaca berbentuk abstrak yang ada di depan gue. Memastikan kalau yang ada di depan itu benar-benar gue. Gila, titisan bidadari mana yang merasuki gue sekarang? Cuma karena ubah bentuk rambut gue sedikit aja, bikin gue jadi berasa bisa ngalahin model-model luar negeri yang cantiknya gak bisa di deskripsiin.

Setelah jadian sama cowok yang kekayaannya enggak bakal bisa habis walau umur gue udah habis duluan, gue akhirnya memutuskan untuk mewujudkan semua impian-impian gue sewaktu gue kismin. Salah satunya ini, potong rambut model Wolfcut like yang lagi rame itu. Bedanya, gue sekalian cat warna hijau dan ungu supaya orang-orang yang pernah hina gue matanya ngejreng liat rambut gue.

"Babe, udah?" Nah, itu dia pacar gue. Gue lupa namanya siapa, yang gue inget adalah bahwa dia homo. Anyway itu bacanya 'beib' bukan babe'.

Yup, dia cuma jadiin gue pacar formalitasnya.

Iye, gue tau ini miris banget. Tapi setidaknya, selama gue bisa nikmatin duitnya, dijadiin pelampiasan juga gue ikhlas lahir batin mah.

"Sudah, tapi saya mau ke tatto maker dulu sebentar. Kamu kalau sudah mau pulang, pulang dulua--"

"Pulang."

"Ya sudah, card lu saya bawa ya."

"Pulang." ucapnya sekali lagi, sambil menatap gue dengan tajam.

"Oh kamu nyuruh saya pulang?"

Beliau itu mengangguk, terpaksa dah gue mengurungkan niat buat bikin tatto baru di selangkangan gue. Padahal rencananya gue mau bikin tatto uler di dekat anu gue biar hot kayak artis-artis gitu, tapi karena beliau paduka raja pacar sudah menurunkan titahnya jadi yaudah lah ya, nurut bae babu kayak kita mah.

Gue juga enggak berani bantah, jawab aja gak berani-aslinya gue berani sih maki-maki dia dalem hati gue aja tiap hari, tapi buat keluarin mah mana berani gue. Paduka raja pacar gue satu ini dingin banget orangnya cuy. Berdiri di samping dia kayak lagi periksa skripsi ke dosen killer.

"Nih," ucap gue sambil menyodorkan kartu berwarna hitam. Karena udah lumayan juga gue pake duitnya jadi balikin lah ya ke yang punya walau sayang banget.

Pacar gue enggak mengambil kartunya, dia cuma menoleh sambil menaikkan satu alisnya. Buset, dikira tampan kali ye dia kalau kayak gitu gayanya, walau emang bukan main tampannya. Omaga bang, kalau gak sayang nyawa udah gue sosor dah lu.

"Saya balikin, terima kasih." Kata gue lagi, jelasin ke dia yang kelihatannya gak paham.

"Gak butuh, aku masih punya banyak."

Buset bang.

"Tapi saya su--,"

"Daripada itu, ternyata hari 'itu' besok ya."

Ah, iya bener.

Bisa-bisanya gue hampir melupakan hari paling penting.

Ternyata besok ya.

Hari pembalasan gue, sekaligus hari dimana perayaan satu bulan kematian gue.

Ah, akhirnya, ya.

***

"Sial, ini si Nadi udah gak ada napasnya." Laki-laki berperawakan tinggi dan besar itu berteriak, setelah mengecek perempuan yang tergelak tidak berdaya di depannya.

"Anjing, yang bener aja!! Gue gak mau di cap pembunuh, kabur!!" Satu laki-laki yang lain yang rambutnya di sisir rapi ke sebelah kanan membuang balok yang sudah di penuhi bercak darah. Ia terpogoh-pogoh berrdiri kemudian melarikan diri.

"Hiks, bukan kita yang bunuh Nadi kan, sayang." Satu-satunya perempuan dengan wajah lugu sudah menangis dari tadi, sahabatnya yang sangat dicintai tidak mungkin pergi secepat itu.

"Enggak, bukan kita pelakunya." Laki-laki yang berperawakan tinggi itu menyahut, benar kata Bimas kita harusnya melarikan diri kalau enggak mau di tuding jadi penjahatnya.

"T-tapi Nadi.."

"Udah, ayok lari aja." Laki-laki berperawakan tinggi itu menarik tangan kekasihnya, melewati seonggok daging yang sudah tergeletak tidak berdaya di belakang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 03 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Call it KarmaWhere stories live. Discover now