01. Jiwa

1.5K 113 16
                                    

Hidup seperti benalu, memeluk benda hidup dan menyerap energinya. Memakan semua sumber kehidupan yang ada didalam sana. Ibu dan Ayah bilang aku begitu. Aku adalah sebuah benalu.

"Semuanya gara-gara kamu!!" Kata Ibu berteriak.

"Harusnya kamu bisa dimanfaatkan sedikit saja!!" Ayah melemparkan asbak rokok kacanya ke arahku.

Aku tidak pernah dituntut pada suatu pilihan, dan tidak pernah mendapatkan dukungan untuk suatu hal yang aku kerjakan. Semuanya berjalan dengan caraku sendiri, dan itu membuatku ketakutan. Sebab, ketika aku gagal, mereka semua menghakimi.

-------------------------------------------------------------

Awan mulai kelabu, saat Jiwa berhasil duduk di bangkunya sebelum jam perkuliahan dimulai.

Suasana masih sepi karena kelas dimulai masih sekitar 20 menit lagi.

Jiwa-- pemuda berkulit putih pucat duduk dekat jendela kaca yang dilapisi tralis besi kecil. Seharusnya ia tidak duduk disini, tempat ini tempat mahasiswa pemalas yang gemar bersembunyi dari padangan dosen. Dan tidak untuk mahasiswa beasiswa dari pemerintah seperti Jiwa. Dia harusnya duduk didepan, ditengah, agar kehadirannya dilihat nyata oleh dosen. Sejenis mencari muka.

Tapi hari ini Jiwa sedang tidak ingin mendengarkan celoteh dosen, apalagi terlalu sering bertukar pandang. Karena hatinya sedang dilanda galau. Galau karena kucing kesayangan satu-satunya dijual sang ayah.

"Ji, pagi banget,"

Damar datang, ikut duduk di samping Jiwa. Pemuda yang lebih tinggi dari Jiwa itu bertanya seraya menurunkan tas punggungnya.

"Gw lagi galau Dam. Kucing anggora yang dikasih Bang Genta dijual ayah," Jiwa menghembuskan napas kasar, meluruh bersandar pada bangku besi.

Damar hanya bisa diam, ini bukan hal langka. Jiwa sudah sering mengeluh seperti ini, bercerita bahwa sang ayah sering menjual barang-barang berharganya demi beberapa gram sabu.

Iya, Damar tahu bagaimana kehidupan anak itu. Ayahnya pecandu narkoba, dan Ibunya hanya buruh cuci harian.

Damar dan Jiwa berteman sejak kelas XI SMA, tidak sengaja bertemu di lokal yang sama. Beberapa kali mendapati anak itu datang ke rumahnya dengan keadaan memprihatinkan membuat Damar mengerti, kehidupan yang Jiwa jalani  tidak mudah.

Meski Damar terlahir dari keluarga terpandang dengan pundi-pundi rupiah yang memadai, namun kenyataannya ia tidak akan mampu menolong Jiwa dengan kekayaan yang ia punya.

"Gw gak minta dikasih duit Dam, lo kasih gw berapa juga bakal habis sehari di ambil Ayah. Yang ada gw malah babak belur kalau Ayah tahu gw punya duit tapi gak ngasih dia, mending gak punya duit sama sekali dah, Dam. Sumpah."

Kalimat itu Jiwa ucapkan setelah satu tahun kenal dan berteman, tepatnya kelas XII SMA. Setelah Damar mulai mengulik kehidupan pribadi Jiwa.

Ternyata Jiwa bukan orang yang introvert. Dia pandai berbaur. Meski lebih pemilih dalam mencari teman. Targetnya semasa SMA adalah siswa kelas menengah kebawah, atau bisa dikatakan yang nasib keuangannya sama sepetinya. Jadi berteman dengan Damar adalah suatu anugerah, karena pada circle pertemanannya di SMA, Damar berada pada status sosialnya sendiri. Bisa disebut kaya raya.

Oh, jangan lupa cara bagaimana mereka bertemu.

Cukup singkat.

BruisesWhere stories live. Discover now