CHAPTER 9

861 161 48
                                    

Derap langkah kaki membangukan Eira. Perlahan, dia menarik tubuhnya untuk duduk di pinggiran tempat tidur sambil mendengarkan. Cahaya matahari belum nampak, yang berarti masih tengah malam. Diliriknya Osric yang tengah tidur di dekat perapian yang menyala. Suara langkah kaki mulai terdengar kembali, membuat Eira memutuskan untuk memeriksanya. Dia berusaha melangkah dengan hati-hati, namun suara lantai kayu berdecit seiring dirinya menuju pintu membuat Osric mengingau sesaat dan hening kembali.

Di luar pondok, Nero juga terlelap, seperti biasa melingkarkan tubuhnya bagai buntalan kain besar. Gemerisik di semak-semak membuat Eira terjaga, dengan bertelanjang kaki dia mulai mengikuti suara itu. Cahaya bulan menyinari sekitar, namun semakin jauh melangkah dari pondok miliknya, cahaya itu memudar perlahan, tertutup oleh lebatnya pepohonan. Angin malam yang cukup dingin mulai menyentuh kulitnya, membuatnya tersadar bahwa dia lupa mengambil mantel sebelum pergi tadi.

Sambil menyalakan api di telapak tangannya, Eira menelusur sekitar yang tidak berbuah apa pun. Mungkin hanya hewan hutan yang kebetulan lewat, pikirnya. Dia memutuskan untuk kembali saat udara semakin terasa menusuk kulitnya. Padahal, beberapa saat yang lalu, tidak sedingin ini, bahkan secara tiba-tiba napasnya mulai mengeluarkan kepulan uap dingin. Eira berbalik, hanya untuk mendapati dirinya kembali pada mimpi tentang manusia waktu itu.

Di depannya, danau tertutup es seperti terakhir kali dilihatnya, dengan lubang besar di tengah-tengah yang persis sama saat dia tenggelam di sana. Dia melangkah mendekat, kakinya yang tanpa alas jelas-jelas kedinginan saat menyentuh es, namun dia mengabaikannya. Api masih menari-nari di tangannya saat dia menolehkan kepala ke atas lubang es itu. Sedangkan sesosok tubuh mengambang di atas sana, wajahnya pucat dengan bekas luka jahitan yang banyak. Sosok yang mengejar lelaki tua waktu itu, pikirnya lagi.

Karena penasaran, Eira berlutut untuk meraih sosok lelaki itu, untuk memeriksa apakah ada denyut nadi darinya. Namun, tepat saat dia mengulurkan tangannya, sosok itu membuka mata lebar, meraih kepala Eira dengan lengan besarnya dan mencelupkannya masuk ke air yang sangat dingin. Eira memukul, bahkan berusaha membakar sosok itu, namun hal itu hanya berakhir sia-sia. Dia megap-megap saat kantung udaranya sudah tidak sanggup lagi menahan air untuk tidak masuk.

Lagi-lagi, suara nyanyian para Siren berdenging di telinganya. Namun, di akhir nyanyian itu, Eira mendengar suara lembut menyentuh telinga, begitu halus dan cepat. "Temukan manusia itu!" katanya.

Sebuah tarikan dari belakang mengembalikan dirinya pada tempat semula. Osric dengan obor ditangannya terkejut mundur saat Eira merespon dengan tengah-engah. "Apa yang kau lakukan di luar sini?" tanyanya, sedangkan keningnya mengerut. Osric lebih terlihat khawatir ketimbang penasaran.

Eira menoleh kebingungan, setengah pakaiannya basah karena dia mencelupkan dirinya ke danau. Sedangkan dirinya sendiri tidak ingat bagaimana dia berakhir di sana. Sambil mengelap wajahnya, Eira bangkit dibantu Osric yang masih menunggu jawabannya. Dia memegangi lengan Eira dan menuntunya kembali ke pondok. Sedangkan selama perjalanan mereka kembali, tidak ada percakapan dari keduanya. Eira masih mencerna apa yang dilihatnya dan apa yang terjadi padanya, sedangkan Osric tidak ingin memaksa perempuan itu.

Lelaki itu rasanya cukup tahu apa yang dirasakan Eira saat ini. Karena, itu yang dia alami beberapa bulan belakangan ini sebelum dia memutuskan untuk meninggalkan kawanannya dan menjadi Amarok. Dikecewakan oleh diri sendiri, dijauhi dan ditinggal orang-orang yang dia sayangi. Mabuk-mabukan, berjudi, dan berkelahi, itu lah yang Osric lakukan pada saat itu, bahkan saat dia pergi meninggalkan kawanannya, rasa kepercayaan diri dan keinginan hidupnya adalah hal terakhir yang dia khawatirkan, hingga dia bertemu Nimue dan Eira.

Tanpa bertanya-tanya lagi, Osric menuntun Eira hingga ke tempat tidur. Melihat ekspresi Eira yang masih tidak bicara, lelaki itu akhirnya memeluknya. "Tidak apa-apa, hal buruk terjadi pada setiap orang, tapi bukan berarti itu salahmu," katanya menenangkan. Eira tidak menyahutnya, namun pelukan erat kembali sebagai balasan sudah cukup untuk Osric mengerti maksudnya. Setelah itu dia menunggu hingga Eira memejamkan mata sembari menggenggam tangannya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 14, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Eira And The Last HumanWhere stories live. Discover now